Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Burung-Burung di Jalan

1 Mei 2021   09:08 Diperbarui: 1 Mei 2021   09:09 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh StockSnap dari Pixabay

"Dia sudah tidak ada.." perempuan beranak satu itu menggeleng. Parasnya menunduk yang malah mengalirkan genangan.

Sehabis jeda lama, aku menawarkan. "Biarlah saya mengantarkannya besok, ibu..". sang ibu hanya mengangguk dan aku sangat memakluminya.

Tak lama kami meninggalkan ibu beranak itu. Kembali melewati jalan kecil kumpulan merpati yang seperti semula. Sayap-sayapnya mengepak seakan menebar embun di seputar tubuhnya. Mereka ada berkejaran.

"Baris sedikit cepat, anak-anak!" perintahku setengah menghindar lintasan merpati. Kembali aku tak menyukai suasana di seputaran unggas-unggas itu, seakan menemukan musuh  tanpa wujud di waktu yang akan datang. Yang mana lintasannya, seperti mebuyarkan bubuk-bubuk halus yang menyesakkan dan bertengger diam di dalam kepalaku.

***

Pagi ini aku permisi dan sudah berada di rumah sakit bersama Rita. Sedang Hani sang puteri kecil kelas tiga dasar itu sudah terlelap semenjak berangkat. Kami berdua hanya menanti dengan mata satu arah, di muka sebuah kamar putih dingin dimana pintu besarnya rapat tertutup.

"Saya harap dia baik-baik saja" kataku sesekali menatap. Sekerlip dia membalas hanya pandang dari redup bola matanya. Wajah piasnya terlihat derita, meski diselingnya aku masih merasakan sayup  kecantikannya. Mungkin berjam kami terduduk, padahal telah dua kali aku membeli sekedar teh hangat dan penganan yang hanya seteguk direguk tanpa lagi disentuhnya. Perempuan itu seperti patung, dingin dan terdiam. Seperti membaca firasat hati seorang ibu.
Hingga pintu terbuka dan brangkar putih bermuat mahluk kecil itu bergegas didorong perawat, sementara kami mengejar mendampinginya.

"Hani sabar dan kuat, ya nak.." sang ibu membisik disisinya mengikuti laju brankar, sementara tentu saja anak perempuannya tak berespon, hanya terlihat balutan kain di kepalanya yang membebat begitu banyak. Matanya tetap terpejam.

Kupandang Rita bermata linang namun berkutat dengan kekuatan seorang bunda. Sedang aku? Apalah. Seorang bujang terlambat yang mengantar dengan mata yang tiba-tiba berkabut. Yang semakin tidak karu-karuan saat dokter bertangan kuat menahan kami berdua.

"Bapak ibu tetap disini.  Ini darurat! Kami harus mempersiapkan operasi!" Dokter penolong berwajah dingin itu melangkah cepat bersama brankar gadis membelakangi kami. Sementara suster menjelaskan dengan kertas-kertasnya yang bersoal  persetujuan operasi. Aku mematung tak terbaca semua abjad sedang Rita sudah terkulai di sofa dinding. Beberapa suster menjelaskan kepadaku seakan aku seorang ayah, dan sekilas miris ku baca akan satu baris kalimat perihal pembedahan otak.

"Ibu harus menandatanginya.." aku menyorongkan lembar kertas ke tangan Rita. Di tabahnya dia membaca sama seperti yang ku baca dan tangan indahnya menuliskan tanda tangannya yang terlihat bergetar.
Lalu setelah itu kami hanya menunggu waktu yang paling lama yang pernah ada,mungkin selama yang tak pernah kuketahui hingga dimensi yang tak pernah tertembus waktu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun