Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Takdir Embun

17 Maret 2021   18:12 Diperbarui: 17 Maret 2021   18:30 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Jerzy Grecki dari Pixabay

Embun menggeliat, tidurnya pastilah lelap. Sepertinya dikala pagi sudah menegur untuk tidak terlambat. Mata malasnya yang indah melirik ke samping sisi ranjangnya yang sudah kosong. Matahari, suaminya, selalu bangkit terlebih dahulu.  Memang dia lelaki pagi, rajin dan tak pernah terlambat.

"Mas Haar.." Embun memanggil. Suami muncul dari balik pintu kamar terlihat  tampan berbaju rapi.

"Keren sekali" Embun memanja sambil merentang tangan. Matahari tersenyum dan memasukkan dekapnya kedalam tubuh Embun.

"Wangi.." Embun mendesah, tapi Matahari tak  terlena lama kerna dia akan bekerja.

"Aku sekejap berangkat, Yang.." Matahari berkata di kuncup telinganya. "Mmm..kerja lagi.." Embun pura-pura merajuk. "Aku buatkan sarapan Mas". "Nggak usah, aku udah membuatnya pula buat kamu"

"Mmmm.. so sweet..". "Yok bangun..".

Kedua sejoli itu beranjak menyambut pagi. Matahari pergi bekerja meninggalkan Embun di kediaman, kedua orang ini seperti sepakat membiarkan hari untuk pergi bermain.

Hari hari seperti menjadi sederhana buat Embun, sehabis Matahari pergi dia akan menjenguk daun-daun tanaman bermuka jernih dari sisa-sisa embun pagi. Berkeliling memeriksa dengan senyum cantiknya, bahwa semua daun tumbuhan yang berserak mengitari pondoknya telah tersapu oleh embun pagi. Dan Embun akan menunggunya sampai basah embun tak lagi terlihat. Embun sukak dengan penantian ini, kepergian embun pagi yang tak terlihat, yang menyiratkan kesederhanaan pekerjaan embun memuaskan seluruh daun.

"Betapa luasnya takdir, betapa sepelenya hidup" Embun berbisik dan bersimpati kepada embun yang mesti membasahi seluruh muka daun pada tumbuhan seluas bumi, sementara embun berbuat mencukupi dirinya sendiri tak pernah berlebihan.

Hari pun berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan berganti tahun. Sepasang insan ini tumbuh semakin intim dengan kehidupannya sendiri-sendiri. Tercipta jarak yang terus bersambung seperti cerita. Sang suami, Matahari, bertambah moncer mengirim hari ke dalam karirnya, begitu jua sang istri, Embun, semakin saja rapat kepada bumi. Dan Pondok mereka yang ada di tapal batas yang pernah menjadi cinta, kini merupa menjadi kesalahan, bertumpuk diam dan berselimut dingin. Seperti kemesraan sudah berpindah ke kedua arah mencari jalannya sendiri-sendiri.

Hingga di satu sore yang tanpa embun dan tanpa pekerjaan, mereka berdua duduk di beranda menghadap cakrawala yang ditaburi oleh warna jingga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun