Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Matematika Rusak

22 Januari 2021   20:07 Diperbarui: 22 Januari 2021   20:13 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Gerd Altmann from Pixabay

Ensten menggaruk rambut putihnya yang berantakan, seakan setiap kali tak habis pikir menghadapi mahasiswanya yang terlihat kelimpungan. Meski prihatin, namun di hati kecilnya dia terbahak. Betapa nestapanya mereka ketika menghadapi  tes matematika yang di bebernya.

Ensten selalu geli melihat bekah-bekuh mahasiswanya, padahal dia sudah men'down grade' kualitas soal yang di berikan.  Paling mentok tiga variabel, bisiknya eksentrik. Ensten memang kerap ngomong sendiri, barangkali untuk menyakinkan dirinya bahwa matematika adalah jalan hidupnya. Dikenal sebagai dosen jenius, sekaligus guru besar, namun tidak menggoyahkan jalan sunyi matematikanya yang telah merupa menjadi 'quantum leap'. Teramat jauh namun terangkai ke dalam matematika semesta.

Merangkai formula memanfaatkan aritmatika bentuk sederhana hingga rumit, menghasilkan deret yang mencengangkan. Dia bisa menyimpan lima variabel di otaknya, begitu mitos yang beredar di kalangan kampus khususnya mipa. Beberapa proyek matematika langit pun sedang digandrungi Ensten saat kekinian. Beberapa kandidat dari mahasiswanya yang dianggap cemerlang dipilihnya buat membantu masuk kedalam tim nya.

Meski tak ada satu pun yang bisa menyintas kepandaian Ensten, namun manusia tetaplah mahluk sosial. Dia membutuhkan manusia lain, dan Ensten sangat membutuhkan siswa siswanya, bahkan menggantungkan masa depan ilmu hitungnya kepada generasi milenial.  Meski Ensten gemar memutar mutar logika dan membuat pening murid muridnya, tapi ini membuat hiburan tersendiri dan teraneh buatnya.

Ensten juga menyukai saat melakukan bimbingan tugas akhir mahasiswa, kerna dari situ dia bisa melihat kepintaran atau kekhasan dari setiap siswa.  Dia akan protes kepada mahasiswa yang membuat 'paper' biasa saja. Nggak seru, katanya. Mesti 'out of the box' atau 'nyeleneh' itulah magis matematika. 

Dan keajaiban hingar bingar jurusan matematika selalu saja menggema di santero kampus,  siswa matematikawan menjadi begitu sohor ketimbang mahasisiwa  jurusan 'major' lain seperti elektro dan kedokteran, bahkan lebih seksi dari psikologi. Menjadikan kebanggaan tersendiri bagi pemegang kartu siswa jurusan matematika.

Salah satu jurusan yang dahulu terkenal suram serupa mesin hitung kuno, kini menjadi logik dengan akal sehat anti kedunguan, seperti yang trendi di kekinian, yang kerap didengungkan Prof Batu Gunung, dosen tua yang ngepop dengan major falsafah kata, jurusan vokal di almamater tersebut yang senang menyetel lagu 'begini nasib jadi bujangan'.

Esten sendiri berbahagia dengan perkembangan ini, matematika bukan sekedar angka tapi menembus paradigma angka, lebih advans, malah lebih sulit dimengerti daripada lukisan abstrak.

Beberapa murid mendekati jenius mulai terlihat, hasil dari pompaannya yang tak pernah pudar, melewati deret, rasio, integral-diferensial, menembus persamaan-persamaan fusi, persamaan lintas planet bahkan meteor. Relativitas sudah merupakan barang basi, variabel masa waktu sudah lebih ruwet lagi masuk kedalam basis matematika, apalagi dalam tugas-tugas akhir para mahasiswanya.

"Ini sudah mentok, Prof" begini kondisi terakhir, ketika salah satu siswa terjenius menjelaskan kepada Ensten, sang guru. "Kami sudah tidak bisa maju lagi" lanjutnya. Ensten menggelengkan kepala putihnya. "Masih, masih bisa" jawabnya sambil mengoret-ngoret 'pad' nya. Namun jawaban memang belum didapatnya. "Ini sudah sembilan variabel, Prof" mahasiswa itu yang bernama Kaplan bergeming.

"Gimana prof? Apa kita turun voltase ajah?". "Sabar, saya pikirkan dulu di rumah" balas Ensten bersikukuh. Bahwa bila eksperimen paper ini berhasil, maka akan bisa ditemukan relasi rahasia alam semesta dengan rahasia penciptaan. Dan inilah ambisi Ensten untuk memecahkan fungsi peradaban dengan menggunakan super 'digit' variabel banyak, yang kelak dipercaya akan menjadi maha karya ilmu hitung tercanggih dalam abad ini.

"Okeh, kita bubar dulu. Kita lanjut esok!" cetus prof Ensten. Dan murid-murid eksperimen pun 'dismiss'. Meninggalkan laboratorium matematika dibawah sinar senja yang sudah memudar kedalam adonan malam. Ensten sendiri masih duduk merenungi persamaan dikertas-kertasnya yang sudah di bereskan siap untuk pulang. "Pasti bisa!" ambisinya didalam kalbu, sambil berjingkat mematikan penerang ruang uji ilmunya.

Tiba di rumah, dosen Ensten masih melanjutkan kutatannya dengan tekun, masih ada rasa keterikatan mendalam untuk pemecahan model ruwet matematika akhir ini. Selain dia tak ingin kehilangan muka dihadapan murid, juga ada gengsi untuk bisa mengungkap misteri jawaban yang paling mortal dari model matematika ini.

Namun sampai malam mulai melarutkan pagi, jawaban itu tak kunjung terpecahkan. Ensten merasakan kelelahan sangat, namun spiritnya menolak untuk berhenti. "Sekali atau tidak sama sekali" bisiknya meyakini hati. Berjam pun Ensten duduk tak bergerak , konsentrasinya terpusat. "Bahwa ada satu nilai yang harus ditukar, kalo tidak, ini tak bisa tersimulasi dengan akhir?" Ensten menggeleng.

Rasio matematika yang mesti di input merupakan bilangan nilai yang tak mungkin, Ensten mulai menyadarinya. Harusnya dia stop, namun kepalang basah. Rasio atau perbandingan nilainya menjadi tidak sepadan, bagaimana mungkin nilai yang rendah bersanding menjadi setara dengan nilai harga yang tinggi. Hukum kekalan energi yang mendasar pun akan terlanggar.

Ensten merengut bersungut sendiri. "Harus ada suatu nilai yang mengimbangi!" akhirnya Ensten seperti menyerah, berteriak sendiri di malam yang sudah pecah. "Apakah harus demikian?" dia bertanya seperti kepada langit-langit, wajahnya ikut menengadah bagai memohon.

Tangannya bergetar, di ikuti tubuh tuanya mengikuti tremor. Namun dikuatkan tangannya untuk menulis jawaban dikertas tulisnya. Tulisannya menjadi jelek karena tangannya gemetar, namun masih bisa terbaca jelas. Setelah itu Ensten seperti lemah tak berdaya. Tubuh kurusnya tertelungkup di atas papan kerjanya.Selanjutnya dia tak bergerak lagi, hanya sepi yang terdengar yang melanjutkan perjalanan malam.

Ketukan keras di pintu tanpa respon datang di pagi hari, saat mahasiswa istimewanya, Kaplan, membawa sarapan nasi bungkus buat profesor sebagaimana di saban pagi. Perasaan pemuda ini tak enak, sambil membuka pintu yang tidak terkunci lalu melangkah masuk.

"Prof..??!!" dia menjerit melihat dosen Ensten terbujur di lantai dingin tak bernyawa. Tubuh Kaplan terasa lunglai menatap panutan jeniusnya pergi mendadak. Sambil menghapus kabut di matanya Kaplan sempat menelisik meja kerja prof yang berserak dengan rumus-rumus matematika tingkat tinggi. Selembar kertas teratas  tergeletak bertuliskan tangan prof Ensten berhuruf lain dari biasanya. Hurufnya besar-besar dan murid Kaplan membacanya perlahan.

"Matematika rusak.  Kita mengira bisa menukar nilai pas-pasan kehidupan kita, dengan nilai besar setelah kematian"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun