Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Matematika Rusak

22 Januari 2021   20:07 Diperbarui: 22 Januari 2021   20:13 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Gerd Altmann from Pixabay

"Okeh, kita bubar dulu. Kita lanjut esok!" cetus prof Ensten. Dan murid-murid eksperimen pun 'dismiss'. Meninggalkan laboratorium matematika dibawah sinar senja yang sudah memudar kedalam adonan malam. Ensten sendiri masih duduk merenungi persamaan dikertas-kertasnya yang sudah di bereskan siap untuk pulang. "Pasti bisa!" ambisinya didalam kalbu, sambil berjingkat mematikan penerang ruang uji ilmunya.

Tiba di rumah, dosen Ensten masih melanjutkan kutatannya dengan tekun, masih ada rasa keterikatan mendalam untuk pemecahan model ruwet matematika akhir ini. Selain dia tak ingin kehilangan muka dihadapan murid, juga ada gengsi untuk bisa mengungkap misteri jawaban yang paling mortal dari model matematika ini.

Namun sampai malam mulai melarutkan pagi, jawaban itu tak kunjung terpecahkan. Ensten merasakan kelelahan sangat, namun spiritnya menolak untuk berhenti. "Sekali atau tidak sama sekali" bisiknya meyakini hati. Berjam pun Ensten duduk tak bergerak , konsentrasinya terpusat. "Bahwa ada satu nilai yang harus ditukar, kalo tidak, ini tak bisa tersimulasi dengan akhir?" Ensten menggeleng.

Rasio matematika yang mesti di input merupakan bilangan nilai yang tak mungkin, Ensten mulai menyadarinya. Harusnya dia stop, namun kepalang basah. Rasio atau perbandingan nilainya menjadi tidak sepadan, bagaimana mungkin nilai yang rendah bersanding menjadi setara dengan nilai harga yang tinggi. Hukum kekalan energi yang mendasar pun akan terlanggar.

Ensten merengut bersungut sendiri. "Harus ada suatu nilai yang mengimbangi!" akhirnya Ensten seperti menyerah, berteriak sendiri di malam yang sudah pecah. "Apakah harus demikian?" dia bertanya seperti kepada langit-langit, wajahnya ikut menengadah bagai memohon.

Tangannya bergetar, di ikuti tubuh tuanya mengikuti tremor. Namun dikuatkan tangannya untuk menulis jawaban dikertas tulisnya. Tulisannya menjadi jelek karena tangannya gemetar, namun masih bisa terbaca jelas. Setelah itu Ensten seperti lemah tak berdaya. Tubuh kurusnya tertelungkup di atas papan kerjanya.Selanjutnya dia tak bergerak lagi, hanya sepi yang terdengar yang melanjutkan perjalanan malam.

Ketukan keras di pintu tanpa respon datang di pagi hari, saat mahasiswa istimewanya, Kaplan, membawa sarapan nasi bungkus buat profesor sebagaimana di saban pagi. Perasaan pemuda ini tak enak, sambil membuka pintu yang tidak terkunci lalu melangkah masuk.

"Prof..??!!" dia menjerit melihat dosen Ensten terbujur di lantai dingin tak bernyawa. Tubuh Kaplan terasa lunglai menatap panutan jeniusnya pergi mendadak. Sambil menghapus kabut di matanya Kaplan sempat menelisik meja kerja prof yang berserak dengan rumus-rumus matematika tingkat tinggi. Selembar kertas teratas  tergeletak bertuliskan tangan prof Ensten berhuruf lain dari biasanya. Hurufnya besar-besar dan murid Kaplan membacanya perlahan.

"Matematika rusak.  Kita mengira bisa menukar nilai pas-pasan kehidupan kita, dengan nilai besar setelah kematian"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun