Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Cinta Inka

12 Agustus 2019   00:05 Diperbarui: 13 Agustus 2019   23:24 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Pixabay.com

1. 

"Bri! Aku di bandara tiga. Sebentar lagi terbang. Labuan Bajo! Cium muaah.. 'Ink'..." 

Di suatu fajar yang belum juga merekah, wasap itu melenturkan getarnya di gajetku. "Oh girl? Inka selalu saja penuh kejutan. Baru minggu kemarin menyusur pantai Banggai,  yang katanya seru melompat di ketinggian air terjun Soladik yang dingin, di timur Luwuk. Dan sekarang.. Buset!"

Mataku yang masih rabun subuh dipaksa berkejaran dengan otakku yang melayang jauh ke sosok Inka, pacarku yang paling gres. Bayangan paras putih bulenya membuat bangun tidurku sedikit ajeg, sembari menatap profil imagenya, kupikir still  Inka emang enggaklah termasuk  inces syantik. Cuma dia cute dan lucu. Barangkali tergolong paras komikal, yang jika dipandang langsung sukak gituh.

" Welcome to the jungle, Ink.." aku membalas malas.

"Wk wk wk.. love you!" sepersekian sekon dia merespon.

Dan aku segera membunuh aplikasi wasap kerna tau pesawat sudah memuatnya untuk terbang menyintas laut Flores jauh dari kamar sastraku. Kupandang meja dari pembaringan, kertas kertas yang berserak yang berisi mimpi yang belum kelar kerna terputus malam yang buntu tanpa keputusan. 

Kubiarkan saja, untuk menentukan langkah keseharianku seperti mesin dijital. Melamun beberapa menit, kemudian mandi pagi, menatap keluar jendela kamar, menikmati bunyi kereta komuter yang padat berganti papasan, salin baju yang pantes lalu ngupi dan nyarap tilas semalam.

Siaplah aku mengajar anak anak sekolah lanjutan, apa saja, matematika bisa, bahasa oke, fisika dan kimia boljug (bolejuga), apa saja, selama aku punya ruang dan waktu bebas untuk menulis yang selalu meluberi pikiran keindahanku.

2.

Aku menjelang gawaiku ketika Inka berkirim gambar, dia melambai bersama kawanan komodo sambil tertawa.

"Kapan abang pernah menyongsongku..?" kutipan di bawahnya.

Ya ampyun.. mataku menyipit memandangi capture parasnya yang mempesona, meskipun rambutnya yang hitam telah di bleach warna ke londo londoan. Tapi bodo amat, aku sukak juga dan lagi doi punya rambut malah keren ini.

Aku tak segra menyeret aksara kibor hangpon ku, masih salfok pada kalimat ketimbang picturenya. Ya, kapan aku pernah mau menyongsongnya?

Kaptifnya menghambur masuk hingga ke ceruk dadaku, bahwa aku baru menyadari selama ini tak pernah sekali menyandingi advanture trip nya, atau mencobanya bahkan memikirkannya.  

Meski aku kurang demen begitu begituan, tapi mestinya aku apa salahnya mencoba dunianya, dunia Inka, dunia hutan  dan alam terbuka yang kurasa begitu dicintainya.  

Tiba tiba ku bersalah, aku enggak pernah ada dikehidupan yang dicintainya, padahal aku mencintainya. Oh, Inka manis, maafkan abang. Lalu aku mematung, kelu tak sanggup untuk menyambut kata kata sarat penantiannya.  

Dan aku berjanji untuk selekasnya mengikuti petualangan berikutnya, yang kutau pasti terbit tak lama setelah kepulangan nya dari bajo.

3.

GA kosong tiga belas mendarat tepat waktu seperti teregister dielectronic board kedatangan direk dari tanah bajo. Terus terang baru sekali ini aku memapak  kekasih hati Inka. 

Diriku yang biasanya datar entah kenapa kali ini gedebur gedebur melebihi getar kecepatan suara mesin rotary  jet aircraft.  Jam mendekati angka duapuluh satu, terminal ekstra dingin bertambah frigid dengan gerimis malam yang menebar disekujur bangunan putih gahar bandara. 

Kurapatkan trucker jacket indigo yang kupakai, guna membendung kabut ac yang bersikeras menembus kulitku. Menunggu saja, buat seraut paras yang mulai menampakkan  garis eksotiknya. 

Dia melambaikan jemarinya dikejauhan akupun membalasnya serupa. Dia tertawa memberi kode dengan senyum dan gerak tangannya. Inka seperti kapas, gemulainya begitu ringan seperti penari. Dia perempuan banget, tapi kelembutannya menyimpan nyala pengelana yang begitu kuat, perkasa disapa alam.  Dijarak kaca penjemput kulihat tubuh rampingnya yang gesit dan sekilas kulit wajahnya merona coklat mentari meski  tak lekang rupawan.

Serampung beberes bagasi raksasa yang menelan tubuh mungilnya, Inka berlari menjelang. Dan kami berciuman, tanpa kusadar bahwa ini  kurang pas untuk bumi Indonesia tidak seperti negara eropa.

Selintas langkah keluar gerbang terminal tiga, dobel kabinnya telah menanti siap memuat backpack besar dan segala tetek bengek tualang. Lalu kami melaju, diremang jok kabin lembut Inka terlelap rebah didadaku.

4.

Hari sore di kafe kofi yang dindingnya hijau lumut.  Kami berbincang dan mereposisi kembali saat ketika aku agak mati nafas.

"Bri, lusa aku diundang  rundown di Bernheim riset forrest. Kamu bisa ikut, Yang" Inka membuka ringan sambil menyruput kapucinya. Bibir indahnya tersaput putih sisa busa tegukan kofi putihnya. "Please.." dia menumpuk telapak tangan mungilnya dilenganku.

"No, Ink.."

"Kamu bisa eksplor segala pasion sastra disana. Louisville, derby Kentucky atau vintage Philadelphia nearby..?" mata beningnya merajuk. Aku menggeleng menyapukan punggung tanganku ke pipi tirusnya. Membayangkan terbang melintas samudra pasifik duapuluh dua jam membuat perutku meluah.

"Kamu pergilah, Ink.." ku menyahut sayup untuk tanpa lagi hasrat membahasnya lebih.

Selebihnya kami banyak berdiam, namun kami tak lepas berpegangan tangan, di kafe yang merajut malam menurunkan gelap menuju sempurna, yang melajukan cinta kami masing masing bukan lagi cinta berdua. Inka meleleh. 

Matanya membasah dan air matanya mengalur. Sedang aku? Seperti kehabisan nafas puisi. Cuma bisa membelai rambut londonya dan membisikkan. It's ok, kita masih berkesempatan membicarakannya lagi sepulang kamu dari KY (Kentucky).

5.

Aku tuliskan bahwa mencintaiku dia tidak pernah benar benar hidup. Kumasukan kedalam puisi soneta malamku yang ternyata inilah penyebabnya, tak pernah berhasil kuselesaikan.

Cinta kita telah menjadi penghalang cinta yang lebih genuine dan aku akan membebaskan cinta Inka pada kehidupannya, karena cinta adalah kehidupan dan kehidupan itulah pemilik keabadian, suatu dimensi tak terbatas. Cinta sejatinya beroperasi diluar waktu, cinta bukanlah "waktu bodoh"

Nanti malam yang berarti mentari disana, akan aku wasap Inka, puisi soneta yang akhirnya selesai empat belas baris ini. Sekaligus menggenapi sejarah kamus puisi, bahwa soneta pertama yang lahir di Sisilia abad 13, adalah kedok bagi draf hukum suatu permohonan romantis.

Di sebelas jam mendahului, Inka sudah mejawab wasapku, dia menuliskan singkat.

"MLMA, My Life My Adventure"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun