Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rindu

9 Agustus 2019   17:53 Diperbarui: 9 Agustus 2019   17:56 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Warung itu begitu sederhana tidak lebih baik dari warung makan murah disisi jalan, bahkan terkesan nelangsa. Penikmatnya kebanyakan pekerja harian  yang memang sudah liat dengan kerasnya matahari, makan sebagai bentuk kewajiban dari putaran kehidupan. Dari hari ke hari, makan yang sama, peluh yang sama, selera yang sama dan muka yang sama. Mereka dan warung makan itu adalah irama perihal perjuangan kekurangan di bumi.

Warmo tengadah menatap mentari dari balik atap gedeg warungnya, berkaca mata hitam cengdem, sebagai pemilik warung dia tak juga beranjak serasa senasib dengan pelanggan kebanyakannya.  Lelaki pertengahan yang sudah beberapa tahun membuka kedai makan sangat sederhana ini tak tampak berambisi naik kelas. Lurus doang. Belanja kepasar, masak dan jual, terus berputar, dengan profit tak terdeteksi pula. Dia senang orang orang pinggiran melahap nasi lauk dengan selera untuk mendongkrak energi  kerja tenaga dan kasar. Menutup malam dan membuka pagi untuk perut mereka. Lempeng aja.

Padahal di silamnya Warmo pernah mendekam di penjara untuk tempo yang lumayan lama dengan kasus pembunuhan sebagai pelaku utama. Tak begitu jelas detil kejadiannya waktu itu, pengakuannya sih membela diri dan tak sengaja membunuh karena hanya berniat melukai. Entahlah tak penting penting amat untuk cerita ini kali. Tapi pengalaman  di bui yang paling ujung dan menohok  adalah soal hati, yaitu soal kebebasan. Setelah melewati masa kerasnya nyali narapidana, diujungnya yang paling menyiksa adalah rasa rindu kebebasan, yang kelak mengalahkan segala rasa yang pernah dilewati diseluruh waktu penjara. Rasa luka parah sampai ketakutan sudah merupakan masa lalu yang enteng saja, hingga datang masa rindu kebebasan yang demikian menghujam, mengalahkan segala rasa yang pernah ada di sepanjang waktu tahanan.

Puncak derita Warmo kala itu hanyalah ketika ada pembesuk dari kerabat datang dengan selalu berdongeng tentang kehidupan di luar penjara, sebagai seorang tahanan yang luber akan damba kebebasan. Mendengar cerita nuansa diluar jeruji besi semakin membuatnya masif dengan keputus harapan yang mendorong keinginan untuk bunuh diri. Nyaris memang kala itu, seandainya dia tak segra menendang semua pembesuk yang bercerita tentang kehidupan bebas diluar penjara. Paling enggak Warmo bisa menunda atau mengganjel pasion suicidenya.

Hingga tiba hari pembebasan,  satu satunya yang diidamkan akhirnya terwujud, Warmo begitu berharap bahagia lepas borgol lapas, namun setelah beberapa hari menghela udara bebas,  kerinduan kebebasan penjara ternyata tak pula dirasakan Warmo.

"Ada sayup yang masih membelenggu kebebasanku" begitu Warmo curhat ke embahnya.

"Kowe mesti lakoni urip wae, le" begitu nasehat embahnya. Dan Warmo menurut, lalu membuka warung nasi sampai sekarang ini.

Telah menjelang tahun ketiga WW (Warung Warmo) berkibar, namun dalam kekiniannya, Warmo kembali dihantui kerinduan kebebasan baru, yaitu rindu akan kebebasan makan. Tubuhnya yang tertarik ke medan magnit kerinduan makan pada awal berdiri usaha warungnya, kini meredup. Warmo mblenger dengan makanan, sebaliknya kerinduan akan kebebasan dari makan makan mulai melilit roh dan raganya.  Pupus sudah spirit perkulineran pada akhirnya. Lalu Warmo quit dari ramesan.

"Perutku penuh dan merasa mual saban hari bergulat dengan ramesan, mbah" begitu Warmo sambat ke mbahnya yang sudah semakin uzur.  Sang embah yang nampak enggak lama lagi ini, geleng geleng kepala tuanya.

"Aku embuh melihatmu, le." Embah menatapnya bersuara pelan banget.

"Warmo emoh lagi embah. Ampun. Rasane ogah kebebasan penjara, ogah kekayaan dan ogah makan enak" Warmo menyahut lunglai.

"Saat kowe ndak tergoda apa apa lagi, diakhirnya kowe bakal jadi penyair atau pengemis, le" Embah bijak itu berkata tajam bagai seorang indigo yang bisa melihat masa depan.

"Penyair? Yess! " Warmo berbinar mata, seraya menciumi tangan embahnya.

###

Mulai detik itu Warmo berpaling menjadi seorang penyair. Kalian tau? Dia sudah tidak lagi menjerit tentang belenggu otaknya dari kehidupan yang terbatas lagi.

Warmo menjelma menjadi penyair sejati, tanpa cem macem kerinduan bumi lagi. Hanya ada satu kerinduan, yaitu kerinduan surga.

Bagaimana gaes?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun