Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Drumblek",Marching Band Tradisional Salatiga yang Terus Berkembang

31 Januari 2016   17:19 Diperbarui: 31 Januari 2016   20:01 1610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yang ini, penari Drumblek dari Gempar Salatiga (foto: dok KDS)

Drumblek, atau Marching band tradisional asli Kota Salatiga, sepertinya semakin hari bukannya redup. Namun, sebaliknya terus berkembang hingga merembet ke desa-desa di wilayah Kabupaten Semarang. Dalam tempo tiga tahun terakhir, telah terbentuk puluhan grup yang memiliki penampilan ciamik. Berikut catatan saya atas pertumbuhan kesenian massal itu.

Seorang gadis, berwajah cantik, body langsing dan berkulit mulus tengah melenggak-lenggok sembari memainkan tongkat mayoret yang terbuat dari perpaduan kemucing serta pernak-pernik lainnya. Sementara di belakangnya, ratusan remaja yang menabuh instrumen terus mengiringinya. Ya, mereka memang grup marching band yang tengah beraksi di tengah terik matahari.

[caption caption="Mayoret Drumblek lagi beraksi (foto: dok bamset)"]

[/caption]

Seperti galibnya marching band, selain memainkan lagu-lagu yang menghentak sepanjang perjalanan, mereka juga mengenakan kostum serbaheboh. Setiap mereka turun ke jalan, praktis ribuan warga Salatiga mengelu-elukan kehadirannya. Anak-anak muda yang sarat kreativitas itu menamakan dirinya sebagai grup Drumblek. Kenapa disebut Drumblek? Karena peralatan yang digunakan merupakan drum bekas, jirigen mau pun alat-alat lain yang difungsikan menjadi alat musik.

Mayoret Drumblek Salatiga (foto: dok KDS)

Sejarah keberadaan Drumblek tak bisa dilepaskan dari sosok pria bernama Didik warga Pancuran, Kotuwinangun, Tingkir, Kota Salatiga. Di mana, di tahun 1986 menjelang perayaan HUT RI, warga kampung tersebut memiliki keinginan membentuk marching band. Sayang, harga peralatan marching band ternyata tak murah sehingga membuat warga memutar otaknya agar libido memainkan berbagai instrumen marching band bisa terpenuhi.

[caption caption="Salah satu grup yang memakai kostum wayang (foto; dok KDS)"]

[/caption]

Pada saat warga tengah kebingungan, Didik yang merupakan seorang seniman, melontarkan gagasan unik. Ia tetap akan membentuk grup marching band, tapi peralatan pendukungnya dibuat dari barang-barang bekas. Ternyata, ide tersebut disambut antusias remaja kampung Pancuran. Mulailah dikumpulkan berbagai drum bekas, jirigen minyak, pralon hingga potongan bambu sisa bangunan. Setelah semuanya terkumpul, mereka berlatih siang-malam agar mampu tampil di ajang Karnaval 17 Agustusan.

Karena semuanya menggunakan barang bekas, ketika ditabuh, suaranya lebih banyak berisiknya dibanding merdunya. Meski begitu, remaja kampung Pancuran yang dilatih langsung oleh Didik tak mengenal kosakata putus asa. Hasilnya, latihan yang tidak kenal waktu tersebut, saat tampil di karnaval hari ulang tahun kemerdekaan RI tahun 1986, ternyata sangat memikat dan mendapat aplaus dari penonton di sepanjang perjalanan. “Mengingat alat yang digunakan mayoritas drum bekas yang terbuat dari seng (bahasa Jawa blek), akhirnya kami sepakat memberikan nama Drumblek,” kata Petrus, salah satu Ketua RT di Pancuran.

[caption caption="Drumblek dari Nobo Salatiga (foto: dok KDS)"]

[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun