Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bloknot Prabowo

25 Januari 2025   08:16 Diperbarui: 31 Januari 2025   20:45 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prof. Emil berbicara, Prabowo mencatat (Sumber: Dok. Tim Media Prabowo)

Siapa sih yang sekarang rela membawa-bawa bloknot, kecuali generasi Baby Boomers atau generasi X yang pernah mengalami pentingnya membawa buku catatan itu ke mana-mana, apalagi bagi seorang jurnalis.

Dulu jurnalis pernah dijuluki kuli tinta. Kerjaannya memang menghabiskan tinta bolpoin karena sibuk mencatat dengan steno---maaf Milenial pasti tidak tahu menulis cepat dengan simbol-simbol itu. Ketika terjadi peralihan dari catatan manual ke catatan digital, julukan jurnalis berubah menjadi kuli disket (diskette). Julukan itu tidak lama bertahan karena disket tergantikan dengan cakram digital (CD) lalu berganti lagi flashdisk. Saking bingungnya, tidak ada lagi julukan sebagai kata ganti jurnalis.

Jika Prof. Stella, Wamendiktisaintek, mendorong mahasiswa tetap menggunakan tulisan tangan, itu sangat beralasan terkait dengan kecerdasan. Menulis dengan tangan itu mengaktifkan hampir seluruh bagian otak, termasuk area yang berhubungan dengan penglihatan, sensorik, dan motorik. Hal itu berbeda dengan mengetik, yang cenderung mengaktifkan area otak yang lebih sedikit. Karena itu, ia melibatkan berbagai proses kognitif yang kompleks.

Prabowo dengan bloknotnya tampak tekun mencatat, keningnya berpikir, dan telinganya aktif menyimak. Proses itu seperti pesan kepada generasi muda. 

Kalau orang tua lagi ngomong itu, jangan main HP. Lihat saya, Presiden mencatat dengan tekun, bukan lihat WA.

Setelah Prof. Stella menjelaskan impak tulisan tangan dalam sebuah wawancara dan Presiden Prabowo mencatat apa yang disampaikan Prof. Emil Salim, saya justru merasa diingatkan kembali. Seperti kebanyakan orang meskipun saya termasuk digital immigrant, kebiasaan mencatat di bloknot hampir saja saya tinggalkan.

Biasanya saya selalu membeli sketch book berukuran A5 atau A4—buku dengan kertas polos yang sebenarnya untuk membuat sketsa. Saya pilih yang berjilid ring kawat sehingga dapat saya cabut dan lebih mudah dibalik---model bloknot ring atas yang berukuran kecil tampak digunakan Prabowo. Sketch book dengan kertas lebih tebal itu membuat saya leluasa menulis dan menggambar buah pikiran atau mencatat poin-poin dari narasumber. 

Selain membeli sketch book, saya masih sering mendapatkan bloknot sebagai suvenir dari lembaga penyelenggara seminar atau pelatihan. Sudah jarang saya menerima dalam bentuk diari tahunan. Namun, akhirnya banyak bloknot menumpuk di rumah karena tidak semua digunakan.

Hampir semua hotel setiap ada rapat, masih setia menyiapkan bloknot plus bolpoin atau pensil bagi peserta rapat. Entah maksudnya menghemat, entah juga karena dianggap sudah tidak zamannya lagi, bloknot di hotel itu sudah semakin menipis ibarat koran yang kembang kempis seperti saat ini.

Penyelenggara pelatihan juga umumnya menyediakan kit pelatihan yang di dalamnya termasuk bloknot. Namun, saat ini ada keraguan melanjutkan tradisi memberi bloknot dan bolpoin. Peserta pelatihan yang membawa laptop atau tablet cenderung tak lagi menggunakannya. 

Tentu pemberian bloknot dan bolpoin sebagai ATK itu akan dituding sebagai pemborosan saja. Wajar jika kemudian pemerintah berpikir memangkas anggaran ATK.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun