Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Melacak Jejak Sejarah Perbukuan Indonesia

24 April 2022   07:53 Diperbarui: 18 Mei 2022   06:20 2343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fase Perbukuan Indonesia (Bambang Trim)

Tanggal 22 April 2022, sehari sebelum peringatan Hari Buku dan Hak Cipta Sedunia, saya menghadiri undangan rapat dengan Pusat Perbukuan. Rapat kali ini ada hubungannya dengan buku, tepatnya sejarah perbukuan. Saya mendapatkan amanah menulis sejarah perbukuan Indonesia. Sebuah pekerjaan besar yang menantang.

Saya agak telat dari Cimahi sampai di Bogor setelah melalui macet di lingkar luar Jakarta. Di ruang rapat sebuah hotel di Bogor itu telah hadir Bu Wahyu (tokoh Pusat Perbukuan yang telah pensiun), ada juga Pak Hendi, dan Bu Pripta. Di bagian lain, ada Prof. Zaki dari ITB (mantan anggota BSNP), Pak Bahrul Hayat (mantan pelaksana Proyek Buku Terpadu dan Sekjen Kemenag), dan terakhir ada Mas Zaim Uchrowi (mantan Dirut Balai Pustaka). 

Mereka semua menunggu presentasi saya. Sebenarnya pada tahun 2019 terbit buku berjudul Menguak Jendela Ilmu: Dinamika Penerbitan Buku Pendidikan dari Era Orde Baru hingga Reformasi. Buku yang saya susun ini khusus menyoroti kebijakan buku pendidikan. Buku itu dipublikasikan secara terbatas. Lalu, mencuat gagasan merevisi buku untuk cakupan yang lebih luas.

Sungguh ini bukan pekerjaan yang mudah bagi saya melacak jejak sejarah perbukuan. Namun, dunia perbukuan sudah menyatu di dalam diri saya sejak tahun 1991, saat saya berkuliah di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Subprodi D-3 Editing, Universitas Padjadjaran.

Saya membagi dua fase sejarah perbukuan Indonesia agar lebih mudah untuk diuraikan. Fase pertama adalah era Pra-kemerdekaan dan kedua adalah era Pasca-kemerdekaan. Era Pra-kemerdekaan ditandai dengan munculnya penerbitan Hindia Belanda, penerbitan Cina Peranakan, dan penerbitan Bumiputra. Era Pasca-kemerdekaan ditandai dengan munculnya penerbitan swasta (partikelir), penerbitan pemerintah, dan penerbitan perguruan tinggi.

Buku ini diniatkan sebagai mikrosejarah dari sejarah besar bernama Indonesia. Memang ini sebuah tantangan besar dalam historiografi. Saya harus mengumpulkan serpihan-serpihan sejarah perbukuan yang terserak, baik di dalam buku maupun di perpustakaan dan di narasumber. 

Saya berharap akan menemukan sesuatu. Sesuatu yang bernama akar keliterasian bangsa Indonesia.

Selama ini kita dianggap sebagai bangsa yang inferior dalam literasi. Kita digambarkan sebagai bangsa yang kurang literat dalam beberapa survei internasional. Kita bukan bangsa yang membaca buku. Benarkah demikian?

Noktah Awal Sejarah Perbukuan

Saya memulai draf naskah buku dengan dua kutipan. Pertama dari Ignas Kleden dan kedua dari Max Lane.

Sebuah pernyataan penting tentang keterkaitan buku dan budaya sekaligus bangsa ditulis oleh Ignas Kleden di sebuah artikel yang diterbitkan dalam Buku dalam Indonesia Baru yang diterbitkan Yayasan Obor Indonesia, tahun 2000. Kleden menyatakan bahwa buku adalah proses produksi budaya; buku adalah perilaku budaya; dan buku adalah produk budaya.

Pernyataan Kleden di dalam buku yang terbit awal Milenium ketiga itu tersambung dengan pernyataan Dr. Max Lane, seorang Indonesianis dari Victoria University, Australia. Max Lane hadir di TIM pada tanggal 12 Agustus 2017 dalam peluncuran buku karyanya bertajuk Indonesia Tidak Hadir di Bumi Manusia: Esai-Esai tentang Pramoedya, Sejarah, dan Politik.

Dengan tegas Max Lane menyatakan bahwa salah satu elemen dasar kebudayaan Indonesia adalah menulis. Ia berujar, "Proses pertama terciptanya Indonesia itu adalah perlawanan terhadap ketidakadilan. Ketidakadilan yang dijalankan diktator kolonialis Hindia Belanda. Yang kedua adalah menulis dan ketiga adalah menyebarluaskan tulisan dan ide-ide. Karena tanpa menulis dan menyebar-luaskannya, perlawanan tidak ada gunanya, tidak diketahui dunia" (Wirayudha, 2017).

Pernyataan Kleden dan Max Lane jika dihubungkan dengan sejarah perbukuan di Indonesia meyakinkan bahwa daya literasi dan daya imajinasi bangsa Indonesia itu sudah terbentuk sejak lama. Salah satu perlawanan yang disadari oleh pemerintah kolonial Belanda pada masa itu adalah perlawanan melalui pena.

Mereka yang merintis berdirinya NKRI sejak dulu telah menanamkan imajinasi bangsa yang besar di benak rakyat Indonesia. Imajinasi itu dilatari oleh fakta sejarah kedigdayaan kerajaan di Nusantara. Bacaan dan tulisan telah digunakan oleh tokoh pendiri bangsa sebagai api nasionalisme.

Karena itu, cap pada masa kini sebagai bangsa yang kurang literat sejatinya bertolak belakang dengan sejarah keliterasian bangsa Indonesia. Tradisi literasi yang paling umum dipahami yakni baca-tulis, telah ada sejak dulu kala. Naskah La Galigo sebuah kitab yang ditulis orang Bugis adalah satu dari bukti tingginya keliterasian bangsa Indonesia pada masa lampau.

Sejarah awal perbukuan di Indonesia sangat berkait erat dengan penemuan mesin cetak di Eropa oleh Gutenberg tahun 1440 yang kemudian disempurnaka pada tahun 1600-an. Mulai tahun 1462, teknik dan seni mencetak telah menyebar luas ke seluruh Eropa. Pada tahun 1500 sudah terdapat lebih dari 1.000 perusahaan pencetakan (percetakan) di Eropa (Scheder, 1977: 25).

Dari perkembangan inilah kemudian muncul industri pers dan penerbitan buku yang  berdampingan dengan industri percetakan. Industri pers dan buku memicu juga lahirnya para jurnalis dan penulis. Selain itu, mulai dikenal profesi korektor dan editor dalam manajemen penerbitan. Eropa semakin mengukuhkan eksistensinya sebagai pusat buku dunia. Bagaimana teknologi perbukuan dan manajemen perbukuan sampai ke Indonesia?

Pada masa pendudukan kolonial Belanda, anak-anak kaum pribumi adalah kaum tertindas yang tidak dapat mengenyam pendidikan. Hanya segelintir kaum pribumi yang berkesempatan mengenyam pendidikan, termasuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan baca-tulis. Mereka adalah keturunan raja, bangsawan, dan amtenar.

Belanda mengadakan bahan bacaan di tanah jajahannya sekadar untuk memenuhi kebutuhan anak-anak Belanda yang diboyong atau lahir di Hindia Belanda. Selain itu, juga untuk memenuhi kebutuhan misi penyebaran agama dan pendidikan terbatas untuk kaum pribumi.

Karena itu, sejarah penerbitan dan percetakan di Indonesia sangat terkait dengan kontribusi Pemerintah Hindia Belanda pada awal abad ke-17, tepatnya tahun 1602. Mereka mendirikan kongsi dagang bernama Vereenigde Nederlandsch Geotroyeerde Oost-Indische Compagnie (VOC). 

VOC melakukan aktivitas perdagangan beberapa komoditas di Hindia Belanda (sebutan Indonesia dahulu). Karena itu, mereka juga memerlukan dokumen tercetak. Selain itu, misi dagang juga diikuti dengan misi penyebaran agama dan pendidikan dengan berdirinya sekolah misionaris.

Sekira dua dekade setelah VOC menguatkan eksistensinya di Indonesia, mesin cetak kemudian didatangkan kali pertama pada tahun 1624. Mesin cetak itu dibawa oleh Justus Heurnius dari Gereja Reformasi Belanda untuk tujuan mencetak naskah, risalah agama, dan buku teks bagi sekolah misionaris. Akan tetapi, mesin-mesin itu tidak berfungsi karena tidak ada operator cetak yang dapat menjalankannya (Hanna, 1988).  

Kegiatan pencetakan sekaligus penerbitan baru benar-benar dimulai pada tahun 1659. Cornelis Pijl memprakarsai penerbitan dan pencetakan almanak Tijdboek---tidak diketahui apa sebenarnya isi Tijdboek ini (Isa, 1972).  

VOC bangkrut dan dibubarkan taun 1796. Sejarah perbukuan beralih ke Pemerintah Hindia Belanda yang memfasiitasi para penerbit Belanda berkiprah di Indonesia. Dalam istilah lain disebut penerbit Indo-Belanda. Ledakan informasi di Eropa yang terjadi sejak tahun 1600-an juga berpengaruh di Indonesia. Penerbitan pers berkembang sangat pesat.

Saat VOC masih berkuasa, terbit surat kabar modern pertama di Hindia Belanda bernama Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnemente atau sering disingkat Bataviasche Nouvelles. Surat kabar ini diterbitkan dan dicetak atas gagasan Gubernur Jenderal van Imhoff pada tanggal 14 Agustus 1744 di Batavia. Surat kabar ini dihentikan penerbitannya pada tahun 1746 karena kecemasan para direktur VOC akan perkembangan pers di Hindia Belanda.

Permulaan zaman industrialisasi atau disebut dengan istilah Revolusi Industri 1.0 pada awal abad ke-19  diawali dengan perkembangan teknologi mesin cetak. Perusahaan-perusahaan cetak dan penerbitan makin banyak yang didirikan di Eropa. Friedrich Knig menciptakan mesin cetak berkecepatan tinggi (highspeed press) pada tahun 1812. Alhasil, mesin-mesin cetak yang dikelola perusahaan Belanda juga sudah memasuki fase lebih modern. Teknologi cetak lebih modern ini juga berpengaruh terhadap sejarah kegrafikaan di Indonesia.

Pada paruh kedua abad ke-19 penerbitan surat kabar dimulai di pulau-pulau luar Jawa di Hindia Belanda. Di Sumatra, Padangsch Nieuwsen Advertentieblad (Padang News and Advertising Paper) diterbitkan selama tahun 1859--1862, lalu menjadi Sumatra Courant (Sumatra Paper) pada tahun 1862, dan berlanjut hingga 1870. 

Di Sulawesi penerbitan Macassaarsch Weekblad (Macassar Weekly) dimulai pada tahun 1861, berubah nama pada tahun 1862 menjadi Makassaarsch Handelsen Advertentieblad (Makassar Trade and Advertising Paper), dan dilanjutkan 1870. Semua surat kabar itu didanai dan dikelola oleh bangsa Belanda, termasuk reporter lokal dan reporter berita berasal dari Belanda.

Periode tahun 1900 memperlihatkan bahwa penerbitan dan percetakan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda dan pengusaha-pengusaha Indo-Belanda adalah semata untuk kepentingan bangsa Belanda sendiri. Penerbitan dan percetakan tersebut untuk mendukung aktivitas bisnis dan misionaris di tanah jajahannya, Hindia Belanda. Karena itu, publikasi masih relatif terkendali.

Beberapa publikasi keagamaan Islami tercetak mulai terbit menggunakan huruf Arab gundul, begitu pula publikasi dalam bahasa Melayu. Materi yang dipublikasikan ke khayalak kebanyakan ialah berita, iklan, serta pendidikan misionaris dan keagamaan.

Pada awal abad ke-20 ini mulai berkembang juga penggunaan bahasa Melayu. Banyak surat kabar berbahasa Melayu terbit di samping berbahasa daerah (Jawa). Surat kabar sebagai media informasi juga digunakan sebagai media iklan bagi para pedagang yang kebanyakan adalah kaum perantau dari Tiongkok.

Penerbitan Cina Peranakan dan Bumiputra

Dari titik sejarah ini kelak lahir penerbitan Cina Peranakan dan penerbitan bumiputra. Telusur sejarah menunjukkan erat kaitannya antara penerbitan pers dan penerbitan buku. Ilmu komunikasi sama-sama menempatkan produk pers (surat kabar, majalah, dsb.) dan buku sebagai media massa. Pembedanya hanya berkala dan tidak berkala. Penerbitan buku pada zaman ini disisipkan dalam aktivitas pers.

Pedagang dan pengusaha Tionghoa di Hinda Belanda merasa perlu menguasai bahasa Belanda, termasuk bahasa kaum pribumi yang tengah berkembang yakni bahasa Melayu. 

Hal ini didorong berkembangnya publikasi tercetak sehingga mereka harus mengikuti informasi perdagangan yang dimuat di surat kabar. Para perantau Tionghoa ini kemudian mendorong keturunan mereka untuk belajar bahasa Belanda dan bahasa Melayu melalui pendidikan formal dan nonformal.

Selanjutnya, lahirlah generasi muda peranakan Tionghoa yang menguasai bahasa Belanda dan Bahasa Melayu. Mereka kemudian menjadi penulis/pengarang dan penerbit dengan mengalihbahasakan kisah-kisah dari Negeri Tiongkok ke dalam bahasa Melayu. Pada dasawarsa 1880-an, sedikitnya ada 40 karya terjemahan dari cerita-cerita asli Cina. 

Salah satu karya terjemahan yang terkenal ialah Kisah Tiga Negara (Tjerita Dahoeloe kala di benoea Tjina, tersalin dari tjeritaan boekoe Sam Kok). Pada tahun 1903--1928, penerbitan Cina Peranakan mampu menghasilkan sekira seratus novel karya asli dari dua belas pengarang Cina peranakan.

Salah satu penerbitan pers dari Cina peranakan yang berpengaruh adalah Sin Po, yang mulai diterbitkan pada tahun 1910 sebagai media berita mingguan. Pada tahun 1912, publikasi ini menjadi harian dengan seorang Eropa, J. R. Razoux, sebagai editor utamanya, berlanjut sampai invasi Jepang hingga kemudian lahirnya Republik Indonesia.  Publikasi lain yang didanai Cina peranakan dan berpengaruh ialah Keng Po, yang mulai diterbitkan pada tahun 1923 dan dilanjutkan publikasi setelah Indonesia merdeka.

Penerbitan pers bumiputra berkembang seperti penerbitan bawah tanah untuk menghindari intelijen Pemerintah Hindia Belanda. Di antaranya penerbitan partikelir (swasta) yang digerakkan  Tirto Adhi Soerjo (T.A.S.). Ia disebut sebagai perintis persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia. 

Tirto mendirikan surat kabar Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907), dan Putri Hindia (1908). Selain itu, ia juga mendirikan Sarikat Dagang Islam. Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah bangsa pribumi.

Tirto disebut-sebut sebagai orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum. Dia juga berani menulis kecaman- kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu. Kiprah Tirto terhenti ketika ia ditangkap dan dibuang ke Pulau Bacan, Maluku Utara.

Selain Tirto, ada tokoh Mohamad Misbach atau dikenal dengan sebutan Haji Misbach. Ia mendirikan surat kabar Medan Moeslimin (1915) dan Islam Bergerak (1917). Haji Misbach menggunakan surat kabar untuk mengkritik keras kebijakan pemerintah kolonial Belanda.

Adapun penerbitan buku bumiputra mengambil peran dalam penerbitan roman dalam bentuk novel-novel percintaan dan detektif. Sentra roman di Indonesia kala itu adalah Kota Medan. Kota ini pada zaman kolonial menjadi tempat persinggahan dan permukiman banyak tokoh nasional.

Tokoh-tokoh dari Jawa seperti dr. Soetomo pernah bertugas dan membuka praktik di Kota Medan. Tan Malaka pernah pula menjadi guru di daerah Tanjung Morawa. Abdul Moeis juga tinggal di kota ini sebagai utusan dari Sarekat Islam. Mr. Iwa K. Soemantri disebut pernah berkarier sebagai pengacara. Begitu pula Soetan Sjahrir disebut "anak Deli" karena pernah bersekolah di Medan.

Karena itu, Medan sangat lekat dengan sejarah perbukuan nasional. Karena itu, kota ini dianggap sebagai ibu kandung "budaya roman". Salah seorang tokohnya bernama Hamka---Hamka pernah singgah ke Medan sepulang dari Tanah Suci, Makkah. Hamka melahirkan roman pertama yang bersejarah berjudul Si Sabariah (Lubis, 2019).

Roman-roman itu kelak dicap oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai "bacaan liar". Berkembangnya aliran sastra di Indonesia yang ditandai dengan kelahiran Angkatan Balai Pustaka menempatkan roman-roman pop tadi dengan istilah 'roman picisan'.  Namun, roman-roman pop dari Medan itu mampu menembus pasar regional (Malaysia dan Singapura) berdasarkan penelitian Koko Henri Lubis dalam bukunya Roman Medan: Sebuah Kota Membangun Harapan.

Penerbit awal di Kota Medan yang terkenal menerbitkan roman adalah Firma Tjerdas (menerbitkan majalah Loekisan Poedjangga). Tokoh di balik Loekisan Poedjangga adalah Joesoef Sou'yb (sahabat Hamka). Ia menulis sebuah serial roman detektif bertajuk Elang Emas. 

Kegiatan penerbitan buku bumiputra juga menggeliat di Jawa. Di Bandung ada penerbit Dachlan Bektie, Koesradie, dan Economic yang menerbitkan buku berbahasa Sunda dan berbahasa Melayu. Di Semarang ada penerbit Masman & Stroink yang menerbitkan buku roman, di antaranya karya Marco Kartohadikromo. Di Surabaya ada penerbit Pembela Islam yang dipimpin oleh A. Hassan, menerbitkan buku-buku agama Islam. 

Di Indonesia Timur, tepatnya di Ende, Flores, didirikan penerbit Arnoldus yang dikelola oleh misi agama Katolik. Para pengelolanya orang Belanda yang mulai mengenalkan manajemen penerbitan kepada masyarakat sekolahan di sana.

Bermulanya menulis dan tulisan menjadi alat kritik dan perlawanan terhadap penjajah yang dilakukan kaum bumiputra, mengkhawatirkan pemerintah Belanda. Dari muncul gagasan pendirian Komisi Bacaan Rakyat. Dibungkus dengan kebijakan Politik Etis, Pemerintah Hindia Belanda membentuk Commissie voor de Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat) pada tanggal 15 Agustus 1908 di Batavia. Pembentukan komisi itu berdasarkan keputusan Departement van Onderwijs en Eeredienst (Departemen Departemen Pengajaran dan Ibaddah) No. 12. 

Komisi Bacaan Rakyat berada di bawah wewenang Adviseur voor Inlandsche Zaken atau Biro Penasehat Urusan Pribumi. Komisi ini ditugaskan untuk memberikan masukan kepada Direktur Pendidikan dan Keagamaan dalam memilih buku yang baik untuk bacaan di sekolah dan bacaan rakyat pada umumnya.Dr. G.A.J. Hazeu, penasihat pemerintah kolonial untuk urusan pribumi, ditunjuk sebagai ketua komisi, dibantu oleh enam orang anggota. 

Pada masa ini tidak banyak aktivitas yang dilakukan oleh komisi. Meskipun melaksanakan politik etis, pemerintah kolonial Belanda masih mengkhawatirkan dampak pendidikan dan pengajaran kepada bumiputra. Maka dari itu, disusunlah peraturan yang membatasi penerbitan buku. Buku bacaan rakyat yang diterbitkan harus sesuai dengan peraturan pemerintah Hindia Belanda sehingga para penulis pun tidak leluasa menulis. Sensor ketat dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Komisi Bacaan Rakyat diarahkan menerbitkan dan mencetak buku-buku yang dapat meredam kesadaran bumiputra untuk merdeka. Pada periode ini buku-buku sastra klasik dari Eropa diterjemahkan, seperti Tom Sawyer, Gulliver's Travels, Ivan the Fool, dan The Three Musketeers. Jenis-jenis bacaan itu dimaksudkan untuk menjauhkan masyarakat bumiputra dari isu-isu politik.

Keberadaan tokoh seperti Tirto dan Haji Misbach beserta surat kabarnya menjadikan pendirian Komisi Bacaan Rakyat sangat penting bagi Belanda guna meredam tulisan- tulisan propaganda yang menentang pemerintahan Hindia Belanda. 

Hal inilah yang diperhatikan benar oleh Douwe Adolf Rinkes alias D.A. Rinkes. Kali pertama Rinkes menggunakan istilah "bacaan liar" untuk menyebut publikasi oleh kaum pribumi yang mengkritik Belanda. Ia mengungkapkannya di De Imhemse Pers pada tahun 1914.

Komisi Bacaan Rakyat baru benar-benar bekerja pada masa kepemimpinan D.A. Rinkes pada tahun 1910. Tugas komisi ini diperluas bukan hanya memberikan rekomendasi, melainkan juga menerbitkan buku bacaan rakyat untuk umum. Pada masa ini selama enam tahun (1910--1916), telah terbit sebanyak 598 naskah. 

Naskah yang diterbitkan itu berasal dari berbagai bahasa daerah dengan perincian 117 naskah berbahasa Jawa, 68 naskah berbahasa Sunda, 33 naskah berbahasa Melayu, dan 1 naskah berbahasa Madura. Jenis cerita yang diterbitkan mencakup cerita rakyat, cerita wayang, ringkasan hikayat, cerita nasihat, dan buku pengetahuan umum.

Pada tanggal 22 September 1917, tugas Komisi Bacaan Rakyat dialihkan ke lembaga baru bernama Kantoor voor de Volkslectuur atau Kantor Bacaan Rakyat---lembaga yang kemudian menjadi cikal bakal Penerbit Balai Pustaka. D.A. Rinkes menjadi pemimpin pertama Kantor Bacaan Rakyat ini. Dialah yang merumuskan kategori bacaan yang baik untuk rakyat. 

Sejumlah tema yang dianggap baik itu, di antaranya pelajaran keterampilan, pertanian dan ilmu alam, serta budi pekerti yang bersifat sekuler. Balai Pustaka juga menerbitkan naskah-naskah dari berbagai bahasa daerah. Tema yang paling sering diangkat genre cerita rakyat, seperti cerita panji, hikayat, dan cerita rakyat lainnya yang harus ditulis ulang senada dan sejalan dengan kepentingan pemerintah kolonial.

Balai Pustaka mendapatkan sokongan finansial penuh dari Pemerintah Hindia Belanda. Harga buku-buku Balai Pustaka dapat ditekan serendah mungkin dengan subsidi Pemerintah Belanda sebear 100.000--400.000 gulden setiap tahun. Bukan hanya itu, Balai Pustaka juga mampu membangun unit percetakan dan manajemen penerbitan modern.

Rinkes kemudian menghimpun penulis, editor, penerjemah, dan korektor pribumi yang kompeten. Dia mendirikan departemen penjualan, membuat gudang, dan mendirikan dua ribu perpustakaan lagi. Rinkes juga membeli bahan pencetakan sendiri, lalu mendirikan percetakan di tanah bekas kantor percetakan pemerintah pada tahun 1921. Di sana dia juga mendirikan kantor redaksi dan administratif. Balai Pustaka pada masa Rinkes benar-benar mengalami kemajuan yang berarti.

Dari Balai Pustaka ini kemudian lahir generasi bumiputra yang menguasai editorial dan manajemen penerbitan modern. Di antara mereka tersebut nama Nur Sutan Iskandar---pribumi pertama yang direkrut BP sebagai korektor dan Sutan Takdir Alisjahbana.

Penerbitan Buku Pasca-kemerdekaan

Pasca-kemerdekaan aktivitas penerbitan bumiputra semakin marak. Belanda hengkang dan perusahaan penerbitan milik Indo-Belanda diambil alih pemerintah Indonesia meskipun agak telat dilakukan. Dua perusahan penerbitan yang dinasionalisasi adalah Balai Pustaka dan Pradnya Paramitha.

Penerbitan pasca-kemerdekaan dapat dibagi ke dalam fase Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi. Berdasarkan jenisnya dapat disebutkan (1) penerbitan swasta (termasuk penerbitan LSM atau lembaga penelitian); (2) penerbitan pemerintah; dan (3) penerbitan perguruan tinggi. Cikal bakal penerbitan perguruan tinggi berhubungan dengan sejarah pendiri Pusat Grafika Indonesia atas bantuan pemerintah Belanda.

Ada peran Ikapi dalam dinamika ini dan asosiasi lain seperti GATBI dan PPGI. Ada peran Kemendikbud yang terasa mengatur kebijakan perbukuan di Indonesia sampai berdirinya Pusat Perbukuan. 

Dan saya perlu menyudahi artikel ini karena sudah terlalu panjang.

Tipuan Literasi

Dinamika perbukuan Indonesia sungguh bertumbuh kembang, terutama pada masa Orde Baru dan pasca Reformasi. Kita akan sampai pada zaman baru perbukuan yaitu Era Digital. Perbukuan Indonesia pada masa kini pun tergambar tidak sedang baik-baik saja. Namun, jejak sejarah harus meyakinkankan kita dan optimistis bahwa Indonesia mampu menjadi kekuatan buku, paling tidak di ASEAN.

Jika Thailand berambisi menjadi pusat buku ASEAN, mengapa Indonesia tidak? Sejarah juga yang telah mencatat bahwa pada tahun 2015, Indonesia telah menjadi tamu kehormatan pada pameran buku terbesar sejagat, Frankfurt Book Fair. Saat itu Indonesia membawa tema 17.000 Islands of Imagination.  Penonjolan imajinasi menunjukkan kekayaan luar biasa dan daya imajinasi yang juga luar biasa dimiliki Indonesia. Sebenarnya tidak hanya imajinasi, tetapi juga intelektual.

Namun, Indonesia selain dihadapkan pada persoalan-persoalan industri perbukuan dan keliterasian kini, juga dihadapkan pada gelombang "tipuan literasi". Buku terbit di Indonesia bak air bah seperti menunjukkan kemajuan literasi yang terlacak dari pengajuan ISBN. 

Sejak tahun 2015--2021 tercatat 404.037 judul buku diterbitkan. Sebelum pandemi tahun 2019, ISBN yang dikeluarkan mencapai 123.227. Tahun 2020, saat terjadi pandemi, pengeluaran ISBN melonjak menjadi 144.793 judul. Tahun 2021 terjadi penurunan dengan pengeluaran ISBN sebanyak 63.398 (Perpusnas RI, 2022).

Sebagian besar publikasi ber-ISBN itu ditengarai sebagai bukan buku atau tidak layak disebut sebagai buku. Fenomena ini juga akan menjadi catatan sejarah di buku yang saya tulis. Buku ini dijadwalkan terbit tepat pada tanggal 17 Agustus 2022. Saya harus berpacu dengan waktu.

Sumber Tulisan:

  • Alfons Taryadi (ed.). Buku dalam Indonesia Baru. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000).
  • Georg Scheder. Perihal Cetak Mencetak. (Yogyakarta: Kanisius, 1983).
  • Isa Zubaidah. "Printing and Publishing in Indonesia, 1602--1970". (disertasi doktor di Indiana University, 1972).
  • Wandi Wirayudha. "Menulis Mencipta Indonesia" (Historia, 12 Agustus 2017).
  • Willard Hanna. Hikajat Jakarta. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun