Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Melacak Jejak Sejarah Perbukuan Indonesia

24 April 2022   07:53 Diperbarui: 18 Mei 2022   06:20 2332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fase Perbukuan Indonesia (Bambang Trim)

Dengan tegas Max Lane menyatakan bahwa salah satu elemen dasar kebudayaan Indonesia adalah menulis. Ia berujar, "Proses pertama terciptanya Indonesia itu adalah perlawanan terhadap ketidakadilan. Ketidakadilan yang dijalankan diktator kolonialis Hindia Belanda. Yang kedua adalah menulis dan ketiga adalah menyebarluaskan tulisan dan ide-ide. Karena tanpa menulis dan menyebar-luaskannya, perlawanan tidak ada gunanya, tidak diketahui dunia" (Wirayudha, 2017).

Pernyataan Kleden dan Max Lane jika dihubungkan dengan sejarah perbukuan di Indonesia meyakinkan bahwa daya literasi dan daya imajinasi bangsa Indonesia itu sudah terbentuk sejak lama. Salah satu perlawanan yang disadari oleh pemerintah kolonial Belanda pada masa itu adalah perlawanan melalui pena.

Mereka yang merintis berdirinya NKRI sejak dulu telah menanamkan imajinasi bangsa yang besar di benak rakyat Indonesia. Imajinasi itu dilatari oleh fakta sejarah kedigdayaan kerajaan di Nusantara. Bacaan dan tulisan telah digunakan oleh tokoh pendiri bangsa sebagai api nasionalisme.

Karena itu, cap pada masa kini sebagai bangsa yang kurang literat sejatinya bertolak belakang dengan sejarah keliterasian bangsa Indonesia. Tradisi literasi yang paling umum dipahami yakni baca-tulis, telah ada sejak dulu kala. Naskah La Galigo sebuah kitab yang ditulis orang Bugis adalah satu dari bukti tingginya keliterasian bangsa Indonesia pada masa lampau.

Sejarah awal perbukuan di Indonesia sangat berkait erat dengan penemuan mesin cetak di Eropa oleh Gutenberg tahun 1440 yang kemudian disempurnaka pada tahun 1600-an. Mulai tahun 1462, teknik dan seni mencetak telah menyebar luas ke seluruh Eropa. Pada tahun 1500 sudah terdapat lebih dari 1.000 perusahaan pencetakan (percetakan) di Eropa (Scheder, 1977: 25).

Dari perkembangan inilah kemudian muncul industri pers dan penerbitan buku yang  berdampingan dengan industri percetakan. Industri pers dan buku memicu juga lahirnya para jurnalis dan penulis. Selain itu, mulai dikenal profesi korektor dan editor dalam manajemen penerbitan. Eropa semakin mengukuhkan eksistensinya sebagai pusat buku dunia. Bagaimana teknologi perbukuan dan manajemen perbukuan sampai ke Indonesia?

Pada masa pendudukan kolonial Belanda, anak-anak kaum pribumi adalah kaum tertindas yang tidak dapat mengenyam pendidikan. Hanya segelintir kaum pribumi yang berkesempatan mengenyam pendidikan, termasuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan baca-tulis. Mereka adalah keturunan raja, bangsawan, dan amtenar.

Belanda mengadakan bahan bacaan di tanah jajahannya sekadar untuk memenuhi kebutuhan anak-anak Belanda yang diboyong atau lahir di Hindia Belanda. Selain itu, juga untuk memenuhi kebutuhan misi penyebaran agama dan pendidikan terbatas untuk kaum pribumi.

Karena itu, sejarah penerbitan dan percetakan di Indonesia sangat terkait dengan kontribusi Pemerintah Hindia Belanda pada awal abad ke-17, tepatnya tahun 1602. Mereka mendirikan kongsi dagang bernama Vereenigde Nederlandsch Geotroyeerde Oost-Indische Compagnie (VOC). 

VOC melakukan aktivitas perdagangan beberapa komoditas di Hindia Belanda (sebutan Indonesia dahulu). Karena itu, mereka juga memerlukan dokumen tercetak. Selain itu, misi dagang juga diikuti dengan misi penyebaran agama dan pendidikan dengan berdirinya sekolah misionaris.

Sekira dua dekade setelah VOC menguatkan eksistensinya di Indonesia, mesin cetak kemudian didatangkan kali pertama pada tahun 1624. Mesin cetak itu dibawa oleh Justus Heurnius dari Gereja Reformasi Belanda untuk tujuan mencetak naskah, risalah agama, dan buku teks bagi sekolah misionaris. Akan tetapi, mesin-mesin itu tidak berfungsi karena tidak ada operator cetak yang dapat menjalankannya (Hanna, 1988).  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun