Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Melacak Jejak Sejarah Perbukuan Indonesia

24 April 2022   07:53 Diperbarui: 18 Mei 2022   06:20 2302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fase Perbukuan Indonesia (Bambang Trim)

Roman-roman itu kelak dicap oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai "bacaan liar". Berkembangnya aliran sastra di Indonesia yang ditandai dengan kelahiran Angkatan Balai Pustaka menempatkan roman-roman pop tadi dengan istilah 'roman picisan'.  Namun, roman-roman pop dari Medan itu mampu menembus pasar regional (Malaysia dan Singapura) berdasarkan penelitian Koko Henri Lubis dalam bukunya Roman Medan: Sebuah Kota Membangun Harapan.

Penerbit awal di Kota Medan yang terkenal menerbitkan roman adalah Firma Tjerdas (menerbitkan majalah Loekisan Poedjangga). Tokoh di balik Loekisan Poedjangga adalah Joesoef Sou'yb (sahabat Hamka). Ia menulis sebuah serial roman detektif bertajuk Elang Emas. 

Kegiatan penerbitan buku bumiputra juga menggeliat di Jawa. Di Bandung ada penerbit Dachlan Bektie, Koesradie, dan Economic yang menerbitkan buku berbahasa Sunda dan berbahasa Melayu. Di Semarang ada penerbit Masman & Stroink yang menerbitkan buku roman, di antaranya karya Marco Kartohadikromo. Di Surabaya ada penerbit Pembela Islam yang dipimpin oleh A. Hassan, menerbitkan buku-buku agama Islam. 

Di Indonesia Timur, tepatnya di Ende, Flores, didirikan penerbit Arnoldus yang dikelola oleh misi agama Katolik. Para pengelolanya orang Belanda yang mulai mengenalkan manajemen penerbitan kepada masyarakat sekolahan di sana.

Bermulanya menulis dan tulisan menjadi alat kritik dan perlawanan terhadap penjajah yang dilakukan kaum bumiputra, mengkhawatirkan pemerintah Belanda. Dari muncul gagasan pendirian Komisi Bacaan Rakyat. Dibungkus dengan kebijakan Politik Etis, Pemerintah Hindia Belanda membentuk Commissie voor de Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat) pada tanggal 15 Agustus 1908 di Batavia. Pembentukan komisi itu berdasarkan keputusan Departement van Onderwijs en Eeredienst (Departemen Departemen Pengajaran dan Ibaddah) No. 12. 

Komisi Bacaan Rakyat berada di bawah wewenang Adviseur voor Inlandsche Zaken atau Biro Penasehat Urusan Pribumi. Komisi ini ditugaskan untuk memberikan masukan kepada Direktur Pendidikan dan Keagamaan dalam memilih buku yang baik untuk bacaan di sekolah dan bacaan rakyat pada umumnya.Dr. G.A.J. Hazeu, penasihat pemerintah kolonial untuk urusan pribumi, ditunjuk sebagai ketua komisi, dibantu oleh enam orang anggota. 

Pada masa ini tidak banyak aktivitas yang dilakukan oleh komisi. Meskipun melaksanakan politik etis, pemerintah kolonial Belanda masih mengkhawatirkan dampak pendidikan dan pengajaran kepada bumiputra. Maka dari itu, disusunlah peraturan yang membatasi penerbitan buku. Buku bacaan rakyat yang diterbitkan harus sesuai dengan peraturan pemerintah Hindia Belanda sehingga para penulis pun tidak leluasa menulis. Sensor ketat dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Komisi Bacaan Rakyat diarahkan menerbitkan dan mencetak buku-buku yang dapat meredam kesadaran bumiputra untuk merdeka. Pada periode ini buku-buku sastra klasik dari Eropa diterjemahkan, seperti Tom Sawyer, Gulliver's Travels, Ivan the Fool, dan The Three Musketeers. Jenis-jenis bacaan itu dimaksudkan untuk menjauhkan masyarakat bumiputra dari isu-isu politik.

Keberadaan tokoh seperti Tirto dan Haji Misbach beserta surat kabarnya menjadikan pendirian Komisi Bacaan Rakyat sangat penting bagi Belanda guna meredam tulisan- tulisan propaganda yang menentang pemerintahan Hindia Belanda. 

Hal inilah yang diperhatikan benar oleh Douwe Adolf Rinkes alias D.A. Rinkes. Kali pertama Rinkes menggunakan istilah "bacaan liar" untuk menyebut publikasi oleh kaum pribumi yang mengkritik Belanda. Ia mengungkapkannya di De Imhemse Pers pada tahun 1914.

Komisi Bacaan Rakyat baru benar-benar bekerja pada masa kepemimpinan D.A. Rinkes pada tahun 1910. Tugas komisi ini diperluas bukan hanya memberikan rekomendasi, melainkan juga menerbitkan buku bacaan rakyat untuk umum. Pada masa ini selama enam tahun (1910--1916), telah terbit sebanyak 598 naskah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun