Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Melacak Jejak Sejarah Perbukuan Indonesia

24 April 2022   07:53 Diperbarui: 18 Mei 2022   06:20 2343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kegiatan pencetakan sekaligus penerbitan baru benar-benar dimulai pada tahun 1659. Cornelis Pijl memprakarsai penerbitan dan pencetakan almanak Tijdboek---tidak diketahui apa sebenarnya isi Tijdboek ini (Isa, 1972).  

VOC bangkrut dan dibubarkan taun 1796. Sejarah perbukuan beralih ke Pemerintah Hindia Belanda yang memfasiitasi para penerbit Belanda berkiprah di Indonesia. Dalam istilah lain disebut penerbit Indo-Belanda. Ledakan informasi di Eropa yang terjadi sejak tahun 1600-an juga berpengaruh di Indonesia. Penerbitan pers berkembang sangat pesat.

Saat VOC masih berkuasa, terbit surat kabar modern pertama di Hindia Belanda bernama Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnemente atau sering disingkat Bataviasche Nouvelles. Surat kabar ini diterbitkan dan dicetak atas gagasan Gubernur Jenderal van Imhoff pada tanggal 14 Agustus 1744 di Batavia. Surat kabar ini dihentikan penerbitannya pada tahun 1746 karena kecemasan para direktur VOC akan perkembangan pers di Hindia Belanda.

Permulaan zaman industrialisasi atau disebut dengan istilah Revolusi Industri 1.0 pada awal abad ke-19  diawali dengan perkembangan teknologi mesin cetak. Perusahaan-perusahaan cetak dan penerbitan makin banyak yang didirikan di Eropa. Friedrich Knig menciptakan mesin cetak berkecepatan tinggi (highspeed press) pada tahun 1812. Alhasil, mesin-mesin cetak yang dikelola perusahaan Belanda juga sudah memasuki fase lebih modern. Teknologi cetak lebih modern ini juga berpengaruh terhadap sejarah kegrafikaan di Indonesia.

Pada paruh kedua abad ke-19 penerbitan surat kabar dimulai di pulau-pulau luar Jawa di Hindia Belanda. Di Sumatra, Padangsch Nieuwsen Advertentieblad (Padang News and Advertising Paper) diterbitkan selama tahun 1859--1862, lalu menjadi Sumatra Courant (Sumatra Paper) pada tahun 1862, dan berlanjut hingga 1870. 

Di Sulawesi penerbitan Macassaarsch Weekblad (Macassar Weekly) dimulai pada tahun 1861, berubah nama pada tahun 1862 menjadi Makassaarsch Handelsen Advertentieblad (Makassar Trade and Advertising Paper), dan dilanjutkan 1870. Semua surat kabar itu didanai dan dikelola oleh bangsa Belanda, termasuk reporter lokal dan reporter berita berasal dari Belanda.

Periode tahun 1900 memperlihatkan bahwa penerbitan dan percetakan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda dan pengusaha-pengusaha Indo-Belanda adalah semata untuk kepentingan bangsa Belanda sendiri. Penerbitan dan percetakan tersebut untuk mendukung aktivitas bisnis dan misionaris di tanah jajahannya, Hindia Belanda. Karena itu, publikasi masih relatif terkendali.

Beberapa publikasi keagamaan Islami tercetak mulai terbit menggunakan huruf Arab gundul, begitu pula publikasi dalam bahasa Melayu. Materi yang dipublikasikan ke khayalak kebanyakan ialah berita, iklan, serta pendidikan misionaris dan keagamaan.

Pada awal abad ke-20 ini mulai berkembang juga penggunaan bahasa Melayu. Banyak surat kabar berbahasa Melayu terbit di samping berbahasa daerah (Jawa). Surat kabar sebagai media informasi juga digunakan sebagai media iklan bagi para pedagang yang kebanyakan adalah kaum perantau dari Tiongkok.

Penerbitan Cina Peranakan dan Bumiputra

Dari titik sejarah ini kelak lahir penerbitan Cina Peranakan dan penerbitan bumiputra. Telusur sejarah menunjukkan erat kaitannya antara penerbitan pers dan penerbitan buku. Ilmu komunikasi sama-sama menempatkan produk pers (surat kabar, majalah, dsb.) dan buku sebagai media massa. Pembedanya hanya berkala dan tidak berkala. Penerbitan buku pada zaman ini disisipkan dalam aktivitas pers.

Pedagang dan pengusaha Tionghoa di Hinda Belanda merasa perlu menguasai bahasa Belanda, termasuk bahasa kaum pribumi yang tengah berkembang yakni bahasa Melayu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun