Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Melacak Jejak Sejarah Perbukuan Indonesia

24 April 2022   07:53 Diperbarui: 18 Mei 2022   06:20 2339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal ini didorong berkembangnya publikasi tercetak sehingga mereka harus mengikuti informasi perdagangan yang dimuat di surat kabar. Para perantau Tionghoa ini kemudian mendorong keturunan mereka untuk belajar bahasa Belanda dan bahasa Melayu melalui pendidikan formal dan nonformal.

Selanjutnya, lahirlah generasi muda peranakan Tionghoa yang menguasai bahasa Belanda dan Bahasa Melayu. Mereka kemudian menjadi penulis/pengarang dan penerbit dengan mengalihbahasakan kisah-kisah dari Negeri Tiongkok ke dalam bahasa Melayu. Pada dasawarsa 1880-an, sedikitnya ada 40 karya terjemahan dari cerita-cerita asli Cina. 

Salah satu karya terjemahan yang terkenal ialah Kisah Tiga Negara (Tjerita Dahoeloe kala di benoea Tjina, tersalin dari tjeritaan boekoe Sam Kok). Pada tahun 1903--1928, penerbitan Cina Peranakan mampu menghasilkan sekira seratus novel karya asli dari dua belas pengarang Cina peranakan.

Salah satu penerbitan pers dari Cina peranakan yang berpengaruh adalah Sin Po, yang mulai diterbitkan pada tahun 1910 sebagai media berita mingguan. Pada tahun 1912, publikasi ini menjadi harian dengan seorang Eropa, J. R. Razoux, sebagai editor utamanya, berlanjut sampai invasi Jepang hingga kemudian lahirnya Republik Indonesia.  Publikasi lain yang didanai Cina peranakan dan berpengaruh ialah Keng Po, yang mulai diterbitkan pada tahun 1923 dan dilanjutkan publikasi setelah Indonesia merdeka.

Penerbitan pers bumiputra berkembang seperti penerbitan bawah tanah untuk menghindari intelijen Pemerintah Hindia Belanda. Di antaranya penerbitan partikelir (swasta) yang digerakkan  Tirto Adhi Soerjo (T.A.S.). Ia disebut sebagai perintis persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia. 

Tirto mendirikan surat kabar Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907), dan Putri Hindia (1908). Selain itu, ia juga mendirikan Sarikat Dagang Islam. Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah bangsa pribumi.

Tirto disebut-sebut sebagai orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum. Dia juga berani menulis kecaman- kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu. Kiprah Tirto terhenti ketika ia ditangkap dan dibuang ke Pulau Bacan, Maluku Utara.

Selain Tirto, ada tokoh Mohamad Misbach atau dikenal dengan sebutan Haji Misbach. Ia mendirikan surat kabar Medan Moeslimin (1915) dan Islam Bergerak (1917). Haji Misbach menggunakan surat kabar untuk mengkritik keras kebijakan pemerintah kolonial Belanda.

Adapun penerbitan buku bumiputra mengambil peran dalam penerbitan roman dalam bentuk novel-novel percintaan dan detektif. Sentra roman di Indonesia kala itu adalah Kota Medan. Kota ini pada zaman kolonial menjadi tempat persinggahan dan permukiman banyak tokoh nasional.

Tokoh-tokoh dari Jawa seperti dr. Soetomo pernah bertugas dan membuka praktik di Kota Medan. Tan Malaka pernah pula menjadi guru di daerah Tanjung Morawa. Abdul Moeis juga tinggal di kota ini sebagai utusan dari Sarekat Islam. Mr. Iwa K. Soemantri disebut pernah berkarier sebagai pengacara. Begitu pula Soetan Sjahrir disebut "anak Deli" karena pernah bersekolah di Medan.

Karena itu, Medan sangat lekat dengan sejarah perbukuan nasional. Karena itu, kota ini dianggap sebagai ibu kandung "budaya roman". Salah seorang tokohnya bernama Hamka---Hamka pernah singgah ke Medan sepulang dari Tanah Suci, Makkah. Hamka melahirkan roman pertama yang bersejarah berjudul Si Sabariah (Lubis, 2019).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun