Monolog 17: Nurani
Nurani itu seperti teratai yang terapung di atas telaga. Akarnya berurai mengembang
dalam genangan. Air yang mengalir ke dalam urat daunnya adalah air yang telah melewati akarnya. Dan manakala permukaan air telaga itu terusik dan tergetarkan entah oleh sentuhan tangan, atau oleh hembusan angin, maka seluruh badannya akan tergetarkan pula.
Nurani itu seperti kabut yang menyelimuti bukit, yang menghadang setiap yang menerjang. Dan manakala cahaya panas menerjangnya, dia perlahan-lahan sirna. Sirna dalam kesementaraan. Esoknya akan hadir kembali tuk menyelimuti bukit sunyi. Senantiasa setia tuk menghadang setiap yang menerjang.
Nurani itu seperti buih pada lidah ombak. Meskipun lemah, dia selalu akan hadir manakala harus berada pada tepi benturan ombak dan pantai.
Dan nurani itu seperti airmatamu, anakku, ketika engkau menangis.
Pula nurani itu seperti airmatamu, ketika dengan tidak sengaja menitik di pipimu, manakala engkau gembira tak terkira.
Fia, anakku, lantas apa itu hakekat nurani ? Jawabnya adalah: amanat dari hakekat perjumpaanmu, dari hakekat penciptaan segala semesta dan semesta segala yang serentak. Dia adalah harmoni perjumpaanmu, anakku. Dan dia seharusnya engkau jadikan sebagai pusat pertimbangan dari segala hakekat perbuatanmu.
Anakku, barangkali engkau kelak akan bertanya: "Ayah, dimanakah letaknya nurani, dan dimanakah sebaiknya aku letakkan nurani itu ?". Baiklah akan aku jawab pertanyaanmu itu, anakku. "Nuranimu, nurani ibumu, nuraniku, serta nurani semesta itu sama dan terletak bukan pada ruang dan waktu , tapi pada titik hakekat perjumpaanmu. Artinya, dia bermukim pada getaran kerinduanmu, anakku, bukan pada alam bawah sadarmu. Dia bukan norma ataupun etika. Bukan pula, rasa ataupun logika. Letakkanlah dia pada hakekat kesunyianmu, karena hakekat kesunyianmu itu senantiasa akan menggetarkan hakekat kerinduanmu itu, anakku. Yakni kerinduan akan
harmoni perjumpaanmu."