Mohon tunggu...
Bambang Subroto
Bambang Subroto Mohon Tunggu... Lainnya - Menikah, dengan 2 anak, dan 5 cucu

Pensiunan Badan Usaha Milik Negara, alumni Fakultas Sosial & Politik UGM tahun 1977. Hobi antara lain menulis. Pernah menulis antara lain 2 judul buku, yang diterbitkan oleh kelompok Gramedia : Elexmedia Komputindo. Juga senang menulis puisi Haiku/Senryu di Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Penghina adalah Hina

16 Oktober 2021   07:25 Diperbarui: 16 Oktober 2021   07:33 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di akhir pekan, pernahkah kita menemukan gua di sekitar pantai. Bila pas di bibirnya, berteriaklah lantang. Apa pun yang kita teriakkan, akan digemakan lebih keras lagi.

Gema suara, gema hati. Semakin keras kata-kata, gemanya memantul lebih keras lagi

Tinggal memilih suara apa yang diteriakkan. Pujian atau makian.

Dalam jagad praktik sehari-hari, kita lebih senang merendahkan orang lain. Entah itu phisiknya atau pemikirannya.

Jika kata benci yang diteriakkan, gemanya diharapkan membesar. Jika ambisi yang dipilih, lawannya yang ditelikung semakin bingung.

Hukum pantulan itu menjadi latar belakang, dia memilih komentar apa untuk tujuan apa. Jika gemanya kecil pun tak apa. Yang lebih penting ia sudah menggemakan ujaran kebencian hari ini.

Mereka sebenarnya iri hati. Memegang prinsip yang belum tentu terjadi : " yang pergi pasti akan kembali,  yang naik akan turun kembali".

Dalam keseharian, kita lebih sreg merancang kenaikan, tinimbang mengantisipasi penurunan. Dan sama sekali emoh melakukan tindakan pemaafan.

Hobi merendahkan martabat orang lain, dilakukan sebagai kesenangan. Amatilah pilihan katanya. Selalu dipilih yang paling tajam.

Mereka awam tentang jalur pemaafan. 

Di gelar kenyataan kehidupan, masih tersisa mereka yang justru bisa menikmati ketika dihina. "Sukeng ing tyas yen den ina" adalah ajang untuk belajar lebih dalam terhadap hakikat kesabaran.

Semakin dihina phisik maupun non phisik, tetap senang dan tenang. Bahkan ketika objeknya sudah menyinggung eksistensi lambang kenegaraan pun.

Proses pemaafan, tidak harus menyatakan pemberian maaf. Mungkin hanya tersenyum saja, sudah cukup bermakna.

Bagi mereka yang sudah mampu mengubah kemarahan menjadi pemaafan, tidak akan melawan secara frontal sebagai balas dendam. Masih banyak perilaku yang inginnya didengarkan, tetap tidak sudi mendengarkan. Kapankah kita terbebas dari cengkeraman emosi negatif ini ?

Celakanya, di dunia nyata perilaku memaafkan itu dinilai sebagai kelemahan. Memaafkan itu membiarkan luka diri tetap menganga.

Memaafkan, juga diartikan sebagai tindakan untuk melupakan dosa orang lain. Padahal, para pembenci dan pendengki itu biasanya pengkuh tidak mau berubah. Seolah makin berkibar, jika bertambah banyak penderita yang tertusuk ucapannya seperti orang bar-bar.

Bahkan gestur pembenci pun sudah kelihatan nyata, walau tidak berkata-kata. Terlihat sinis, sinis sekali.

Jangan dikira, proses pemaafan itu seperti halal bihalal. Haha hehe, mengucap maaf lahir batin, tetapi tipis sekali maknanya.

Pemaaf itu tidak tergantung postur tubuh. Misal, semakin kekar tambah bersabar. Entah kekar, entah ceking, para pemaaf itu pasti punya kemampuan lebih secara spiritual, mental, emosional, dan kekuatan phisik.

Menjadi insan perasa ada tidak enaknya. Sedikit-sedikit tersinggung. Tersinggung kok sedikit-sedikit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun