Semakin dihina phisik maupun non phisik, tetap senang dan tenang. Bahkan ketika objeknya sudah menyinggung eksistensi lambang kenegaraan pun.
Proses pemaafan, tidak harus menyatakan pemberian maaf. Mungkin hanya tersenyum saja, sudah cukup bermakna.
Bagi mereka yang sudah mampu mengubah kemarahan menjadi pemaafan, tidak akan melawan secara frontal sebagai balas dendam. Masih banyak perilaku yang inginnya didengarkan, tetap tidak sudi mendengarkan. Kapankah kita terbebas dari cengkeraman emosi negatif ini ?
Celakanya, di dunia nyata perilaku memaafkan itu dinilai sebagai kelemahan. Memaafkan itu membiarkan luka diri tetap menganga.
Memaafkan, juga diartikan sebagai tindakan untuk melupakan dosa orang lain. Padahal, para pembenci dan pendengki itu biasanya pengkuh tidak mau berubah. Seolah makin berkibar, jika bertambah banyak penderita yang tertusuk ucapannya seperti orang bar-bar.
Bahkan gestur pembenci pun sudah kelihatan nyata, walau tidak berkata-kata. Terlihat sinis, sinis sekali.
Jangan dikira, proses pemaafan itu seperti halal bihalal. Haha hehe, mengucap maaf lahir batin, tetapi tipis sekali maknanya.
Pemaaf itu tidak tergantung postur tubuh. Misal, semakin kekar tambah bersabar. Entah kekar, entah ceking, para pemaaf itu pasti punya kemampuan lebih secara spiritual, mental, emosional, dan kekuatan phisik.
Menjadi insan perasa ada tidak enaknya. Sedikit-sedikit tersinggung. Tersinggung kok sedikit-sedikit.