Mohon tunggu...
bambang riyadi
bambang riyadi Mohon Tunggu... Praktisi ISO Management Sistem dan Compliance

Disclaimer: Informasi dalam artikel ini hanya untuk tujuan umum. Kami tidak bertanggung jawab atas tindakan yang diambil berdasarkan informasi ini. Konsultasikan dengan profesional sebelum membuat keputusan. Kami tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari penggunaan informasi ini. Artikel lainnya bisa dilihat pada : www.effiqiso.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Dari Telepon Keras hingga Tas di Kursi: Etika di Angkutan Umum yang Bikin Rakyat Capek Sebelum Bekerja

21 September 2025   19:00 Diperbarui: 17 September 2025   06:48 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keramaian dalam KRL| BeritaTrans.com

Pukul 06.45 pagi. Gerbong KRL Commuter Line jurusan Bogor-Jakarta sudah penuh sesak sejak stasiun Cilebut. Saya berdiri memegang tiang, tubuh terjepit antara tas besar dan bahu penumpang lain. Tapi yang paling menusuk bukan keramaian itu. Suara dari ponsel seseorang di depan saya menggema seperti panggung stand-up comedy: "Ya, deal-nya harus closing minggu ini! Gue nggak bisa main-main!" Ia berbicara selama 20 menit, tanpa peduli tatapan kesal dari orang-orang di sekitarnya.

Di sebelahnya, sebuah ransel hitam besar menempati kursi kosong. Pemiliknya duduk santai, sambil mendengarkan musik tanpa earphone. Di sudut lain, seorang ibu hamil berpegangan erat pada pegangan atas, wajahnya pucat oleh kelelahan. Tak seorang pun menawarkan tempat duduk.

Inilah ironi transportasi umum: diciptakan untuk mempermudah hidup, tapi sering kali justru membuat kita capek sebelum mulai bekerja.

Daftar Pelanggaran yang Membuat Hati Gerah

Masih banyak lagi pelanggaran etika yang menjadi langganan setiap hari:

1.  Telepon atau video call keras-keras, seolah dunia ini milik satu orang.
2.  Menaruh tas, koper, atau belanjaan di kursi kosong, padahal pemiliknya duduk atau berdiri.
3.  Makan dan minum sembarangan, meninggalkan bau amis atau sampah plastik di lantai.
4.  Selonjor kaki menghalangi lorong, membuat penumpang lain sulit lewat atau berdiri dengan nyaman.
5.  Pura-pura tidur atau asyik dengan ponsel saat ada lansia, ibu hamil, atau penyandang disabilitas berdiri.

"Kalau nggak sanggup berdiri, jangan naik jam sibuk!" tulis seorang Kompasianer di forum `#EtikaDiTransportasiUmum`. Kalimat itu mewakili kekesalan kolektif yang telah melampaui batas.

Ilustrasi suasana saling menghargai di angkutan umum | Canva.com
Ilustrasi suasana saling menghargai di angkutan umum | Canva.com

Kenapa Hal Kecil Ini Sangat Mengganggu?

Kita mungkin berpikir, "Ah, cuma telepon sebentar, masa iya bikin marah?" Tapi dalam ruang publik yang sempit dan padat, setiap gangguan kecil berdampak besar.

Psikolog sosial menyebutnya sensory overload --- beban sensorik yang membuat otak cepat lelah. Stres karena suara bising, ketidaknyamanan fisik, dan perasaan tidak dihargai, membuat kita tiba di kantor dalam kondisi emosional terkuras. Belum bekerja, energi mental sudah habis.

Bayangkan jika rumah Anda dimasuki tetangga yang langsung meletakkan sepatu kotornya di sofa tamu, menyalakan TV keras-keras, dan memakan makanannya sambil bersantai. Pasti kita merasa rumah kita dilanggar. Transportasi umum adalah rumah bersama. Dan kita semua bertanggung jawab menjaganya.

Bagaimana Menegur Tanpa Drama?

Banyak dari kita ingin menegur, tapi takut konflik. Apakah harus diam saja?

Beberapa Kompasianer membagikan strategi unik:
- "Saya suka pakai kode halus: batuk dua kali pas dia mau nelpon. Kadang malah langsung tutup telepon," cerita Dina, mahasiswa di Depok.
- "Kalau lihat tas di kursi, saya pura-pura butuh duduk, berdiri aja di dekatnya sampe akhirnya digeser sendiri," tambah Budi.
- Yang lebih tegas: "Saya pernah bilang, 'Permisi, boleh saya duduk? Anak saya sakit dan harus ditimang.' Langsung dikasih tempat."

Ada juga yang memilih lapor ke petugas via aplikasi, seperti fitur pelaporan di TransJakarta App. Tapi idealnya, emosi sosial dan kesadaran diri harus muncul tanpa perlu ancaman sanksi.

Seorang mantan "pelaku" mengaku: "Saya lebih suka dikomentari daripada diam-diam dibenci semua orang di gerbong. Itu bikin saya introspeksi."

Solusi: Dari Kesadaran Individu hingga Tanggung Jawab Bersama

Perbaikan etika di angkutan umum tidak bisa hanya ditumpukan pada individu. Butuh kolaborasi:

1.  Individu: Latih empati. Bayangkan jika Anda yang berdiri karena hamil, sakit, atau letih. Mulailah dari diri sendiri: jaga suara, jangan manfaatkan ruang secara egois.
2.  Operator Transportasi: Perkuat kampanye edukatif dengan poster lucu dan pengumuman audio yang humanis. Bahkan, bisa ada "reward" simbolik bagi penumpang tertib.
3.  Teknologi: Gunakan aplikasi untuk edukasi dan pelaporan ringan, bukan hanya untuk tiket.
4.  Komunitas: Jadikan obrolan warung kopi tentang etika angkutan umum sebagai bagian dari budaya kritis yang sehat.

Penutup: Bernapas Lega Dimulai dari Ruang Publik yang Manusiawi

Kita datang ke kota untuk bekerja, mencari nafkah, dan bermimpi. Tapi jangan biarkan perjalanan menuju mimpi itu diawali dengan kegerahan hati.

Naik angkutan umum bukan sekadar soal efisiensi atau ongkos murah. Ia adalah ujian kemanusiaan kita di ruang publik.

Sebelum sampai di kantor, mari pastikan kita sudah saling menghargai di jalur. Karena pekerjaan yang baik dimulai dari perjalanan yang manusiawi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun