Seorang mantan "pelaku" mengaku:Â "Saya lebih suka dikomentari daripada diam-diam dibenci semua orang di gerbong. Itu bikin saya introspeksi."
Solusi: Dari Kesadaran Individu hingga Tanggung Jawab Bersama
Perbaikan etika di angkutan umum tidak bisa hanya ditumpukan pada individu. Butuh kolaborasi:
1. Â Individu: Latih empati. Bayangkan jika Anda yang berdiri karena hamil, sakit, atau letih. Mulailah dari diri sendiri: jaga suara, jangan manfaatkan ruang secara egois.
2. Â Operator Transportasi: Perkuat kampanye edukatif dengan poster lucu dan pengumuman audio yang humanis. Bahkan, bisa ada "reward" simbolik bagi penumpang tertib.
3. Â Teknologi: Gunakan aplikasi untuk edukasi dan pelaporan ringan, bukan hanya untuk tiket.
4. Â Komunitas: Jadikan obrolan warung kopi tentang etika angkutan umum sebagai bagian dari budaya kritis yang sehat.
Penutup: Bernapas Lega Dimulai dari Ruang Publik yang Manusiawi
Kita datang ke kota untuk bekerja, mencari nafkah, dan bermimpi. Tapi jangan biarkan perjalanan menuju mimpi itu diawali dengan kegerahan hati.
Naik angkutan umum bukan sekadar soal efisiensi atau ongkos murah. Ia adalah ujian kemanusiaan kita di ruang publik.
Sebelum sampai di kantor, mari pastikan kita sudah saling menghargai di jalur. Karena pekerjaan yang baik dimulai dari perjalanan yang manusiawi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI