Setiap pagi, di halte bus kota atau stasiun KRL yang sesak, saya selalu menyaksikan ritual yang sama. Seorang ibu hamil berdiri memegang tiang, sementara beberapa penumpang muda asyik dengan ponselnya, pura-pura tidur. Di sebelahnya, tas besar menempati dua kursi, padahal pemiliknya duduk santai sambil mendengarkan musik tanpa earphone. Suaranya keras, obrolannya tak kalah bising. Ini bukan sekadar ketidaksopanan---ini adalah pelanggaran terhadap roh dari transportasi umum: kebersamaan.
Tepat di Hari Perhubungan Nasional, kita perlu bertanya: apa arti sebenarnya dari angkutan umum?
Bukan Hanya Soal Murah, Tapi Soal Martabat
Banyak dari kita menggunakan transportasi umum karena alasan ekonomi. Data dari survei internal Kompasiana menunjukkan, rata-rata warga Jakarta menghabiskan Rp 30.000--50.000 per hari hanya untuk ongkos pulang-pergi kerja. Bagi sebagian orang, jumlah ini bisa mencapai sepertiga penghasilan harian. Mereka memilih angkutan umum bukan karena gaya hidup, tapi karena keterbatasan.
Namun, justru karena itulah, transportasi umum harus menjadi ruang yang adil, nyaman, dan bermartabat. Ia bukan tempat bagi yang kuat menguasai, tapi ruang bersama yang harus dijaga bersama.
Sayangnya, etika sering dilupakan. Seperti yang disoroti dalam diskusi topik Kompasiana "Etika Menggunakan Transportasi Umum", pelanggaran kecil terus terjadi: selonjor kaki menghalangi lorong, makan minum sembarangan, suara speaker ponsel yang memecah kesunyian, hingga tindakan pura-pura tidak melihat orang tua atau ibu membawa anak yang butuh tempat duduk.
Kita semua pernah jadi korban. Dan mungkin, tanpa sadar, kita juga pernah menjadi pelakunya.Â
Etika: Investasi Tak Terlihat di Jalur Lalu Lintas
Saya masih ingat seorang bapak paruh baya yang naik TransJakarta di jam sibuk. Ia langsung menyapa penumpang di depannya saat ingin lewat: "Permisi, Pak." Lalu, ia memberi tempat kepada seorang nenek yang baru masuk. Tidak ada sorotan kamera, tidak ada pujian. Tapi aksinya membuat seluruh penumpang di sekitarnya ikut tersenyum dan secara diam-diam mulai merapikan diri.
Itulah kekuatan etika. Ia seperti minyak pelumas di mesin yang macet: tidak terlihat, tapi tanpanya, segalanya akan rusak.
Transportasi umum bukan milik negara, bukan milik operator, tapi milik kita bersama. Saat kita membuang sampah sembarangan, kita merusak rumah orang lain. Saat kita menutup jalan dengan tas, kita merebut hak orang lain untuk lewat. Saat kita berteriak-teriak di telepon, kita mencuri ketenangan orang yang lelah setelah seharian bekerja.
Ilustrasi Nuansa Konflik & Ketidaknyamanan -- Pelanggaran Etika|Canva.com

Hari Perhubungan Nasional: Saatnya Kita Berubah
Hari Perhubungan Nasional bukan hanya tentang merayakan kemajuan infrastruktur atau peluncuran moda transportasi baru. Lebih dari itu, ini adalah momen refleksi: apakah kita sebagai pengguna sudah menjadi bagian dari solusi?
Bayangkan jika setiap penumpang:
- Memberi tempat pada yang lebih membutuhkan.
- Menjaga suara tetap rendah.
- Tidak menaruh barang di kursi kosong.
- Memungut sampahnya sendiri.