"Tapi kan bisa dipolitisir, Nduk! Fakta bahwa sampai ada tututan mundur Anies. Bahkan sampai muncul demo tandingan segala, itu kan sudah sangat politis? Dan itu pasti sangat rawan bentrokan, yang bisa jatuhkan korban...."
"Ibu sampun kuatos! Aparat keamanan pasti mampu mengendalikan mereka. Buktinya, kan juga aman-aman saja, to Bu." Jawabnya menenangkan hati bundanya.
"Sekarang Ibu istirahat dulu saja. Saya mau berdoa dulu di taman. Mengganti yang tertunda tadi pagi."
***
Tujuan utama kedatangan ibunya sesungguhnya untuk mendiskusikan perihal Ita Wulandari. Ia amat prihatin terhadapnya. Karena anak gadisnya itu, kini tengah didekati oleh seorang pria yang umurnya dua kali lipat dari umurnya. Dan jika Ita mau, setelah diwisuda beberapa bulan lagi, akan segera dinikahi.
"Aku sangat mengkuatirkannya, Nduk," ujar ibunya di sore harinya, "hubungan dengan kondisi seperti itu, akan lebih banyak susahnya..."
"Bukankah dulu selisih yuswa almarhum Ayah dengan Ibu sendiri, seperti itu juga?"
"Bener Irma! Justru karena aku sudah alami sendiri, maka sebaiknya jangan sampai terjadi pada Ita. Cukup Ibu sendiri yang mengalaminya...."
"Masak Ibu menderita bersuamikan Ayah? Seingatku, waktu itu Panjenengan berdua sangat bahagia, kok?" Irma menyanggah seperti tidak terima.
"Aku memang bahagia bersama Ayahmu. Tapi terlalu singkat waktunya. Ingatlah, ketika aku masih berumur 35 tahun, Beliau sudah sedo. Waktu itu, kamu dan kakakmu Ida masih sekolah di SD. Malah si Ita masih bayi..."
".........................." Irma terdiam mendengarnya. Tapi ingatannya dengan cepat melayang ke masa kecilnya. Lalu ia mengangguk-anggukkan kepalanya sendiri.