Mohon tunggu...
Bambang Suwarno
Bambang Suwarno Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Mencintai Tuhan & sesama. Salah satunya lewat untaian kata-kata.

Pendeta Gereja Baptis Indonesia - Palangkaraya Alamat Rumah: Jl. Raden Saleh III /02, Palangkaraya No. HP = 081349180040

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Doa yang Sadis?

18 Januari 2020   11:35 Diperbarui: 18 Januari 2020   11:40 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seperti biasanya, begitu bangun pagi, Irma langsung menuju ke taman bunganya. Taman bunga pribadinya itu sesungguhnya kecil saja. Tapi itu sudah memenuhi dua pertiga luas halaman tumahnya. 

Wanita berumur 30 tahun itu, memang seorang pecinta bunga. Pengagum keindahan segala macam jenis bunga. Penikmat keasrian dan kecantikan taman bunga kreasinya sendiri. Maka tak mengherankan, jika ia sudah menghabiskan sekian puluh juta rupiah untuk membiayai hobinya tersebut.

Untuk apa setiap bangun tidur pagi Irma ke situ? Tentu saja, untuk mencecap keelokan dan wangi aroma bunga-bunganya. Pun untuk mereguk bersih dan sejuknya udara pagi? 

Namun selain itu, ada tujuan mulia yang menyertainya. Yaitu untuk berdoa kepada Allahnya. Untuk mengucap syukur dan bersyafaat bagi banyak hal. Baginya, taman bunga adalah tempat ternyaman untuk membangun intimasi dengan Tuhan, Juruselamatnya.

Tetapi pagi ini, begitu masuk ke area taman bunganya, ia disambar keterkejutan yang luar biasa. Dadanya berguncang hebat. Jantungnya serasa hampir lepas. Kenapa? 

Karena matanya tiba-tiba melihat seorang wanita yang berada di sana. Wanita itu duduk seorang diri di sebuah bangku. Karena masih terlihat dari belakang, Irma tak tahu persis siapa wanita itu.

Dari postur dan gerakan tangan saat memegang dan mengamati sebuah bunga, dari belakang wanita itu tampak sudah bukan muda lagi. Tapi mengapa ada di situ sepagi ini? Dalam rangka apa? Dan kenapa tidak permisi dulu?

"Ibu ya...?" serunya setelah makin dekat dengan wanita itu.

Keruan saja yang disapa menoleh dan tersenyum padanya. Benar, perempuan sepuh itu memang ibunya Irma. Maka saling berangkulanlah mereka dalam sukacita beberapa saat lamanya.

"Ibu dengan siapa ke sini? Kok enggak kasih tahu sebelumnya, sih?"

"Sekali-sekali bikin surprise kan nggak apa-apa, to Nduk?" jawabnya sambil menciumi pipi putri tercintanya itu. Kemudian langsung saja ia menceritakan kronologi proses serta alasannya datang ke sini.

***

"Dari tadi pagi, aku kok belum lihat sama sekali adikmu, Ita. Ke mana dia?" tanyanya setelah makan siang.

"Dia sudah tiga hari ini, menemani Wati di rumahnya."

"Siapa Wati itu?"

"Teman sekampusnya..."

"Ngapain di sana?"

"Kemarin itu, dia dengan banyak teman-temannya kan ikut mendemo Gubernur. Dan poskonya di rumah Wati yang besar itu..."

"Kenapa kamu ijinkan ikut demo segala, Ir? Kalau cowok sih nggak apa-apa. Tapi Ita itu, kan cewek yang ringkih fisiknya. Nanti kalau terjadi apa-apa, gimana?"

Irma pun langsung menjelaskan perihal Ita kepada ibunya. Dia tidak saja mengijinkan adiknya ikut demo. Tapi malah mendukungnya penuh. Alasan pertama, karena mereka sendiri termasuk korban banjir baru-baru ini. Karena amat dirugikan, mereka punya hak untuk menuntut pemerintah daerah dan kepala daerahnya.

Sebagai gubernur, Anies dinilai lalai, tidak antisipatif dan tidak becus dalam penanganan banjir. Sebab itu, mereka tidak saja berunjuk rasa, tapi juga telah mengajukan gugatan class action Anies Baswedan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Kedua, karena demo masalah banjir, dinilainya bukan demo masalah politik. Seperti pilkada atau pilpres. Makanya Irma mengijinkan adiknya mengikuti kedua kegiatan itu.

"Tapi kan bisa dipolitisir, Nduk! Fakta bahwa sampai ada tututan mundur Anies. Bahkan sampai muncul demo tandingan segala, itu kan sudah sangat politis? Dan itu pasti sangat rawan bentrokan, yang bisa jatuhkan korban...."

"Ibu sampun kuatos! Aparat keamanan pasti mampu mengendalikan mereka. Buktinya, kan juga aman-aman saja, to Bu." Jawabnya menenangkan hati bundanya.

"Sekarang Ibu istirahat dulu saja. Saya mau berdoa dulu di taman. Mengganti yang tertunda tadi pagi."

***

Tujuan utama kedatangan ibunya sesungguhnya untuk mendiskusikan perihal Ita Wulandari. Ia amat prihatin terhadapnya. Karena anak gadisnya itu, kini tengah didekati oleh seorang pria yang umurnya dua kali lipat dari umurnya. Dan jika Ita mau, setelah diwisuda beberapa bulan lagi, akan segera dinikahi.

"Aku sangat mengkuatirkannya, Nduk," ujar ibunya di sore harinya, "hubungan dengan kondisi seperti itu, akan lebih banyak susahnya..."

"Bukankah dulu selisih yuswa almarhum Ayah dengan Ibu sendiri, seperti itu juga?"

"Bener Irma! Justru karena aku sudah alami sendiri, maka sebaiknya jangan sampai terjadi pada Ita. Cukup Ibu sendiri yang mengalaminya...."

"Masak Ibu menderita bersuamikan Ayah? Seingatku, waktu itu Panjenengan berdua sangat bahagia, kok?" Irma menyanggah seperti tidak terima.

"Aku memang bahagia bersama Ayahmu. Tapi terlalu singkat waktunya. Ingatlah, ketika aku masih berumur 35 tahun, Beliau sudah sedo. Waktu itu, kamu dan kakakmu Ida masih sekolah di SD. Malah si Ita masih bayi..."

".........................." Irma terdiam mendengarnya. Tapi ingatannya dengan cepat melayang ke masa kecilnya. Lalu ia mengangguk-anggukkan kepalanya sendiri.

Irma Kartikasari segera paham, betapa susahnya ibunya dulu. Saat masih sangat muda, tiba-tiba harus menjadi single parent bagi ketiga putrinya yang masih kecil-kecil. Perjuangannya untuk mendidik dan membesarkan mereka pasti sangat berat.

Bahkan dengan tulus beliau rela menyalibkan hasratnya. Yaitu hasrat untuk menikah lagi. Demi ketiga anak gadisnya, ibunya rela tetap menjanda sampai masa sepuhnya. Pengalaman seperti itulah yang amat dikhawatirkan ibunya bisa terjadi pada Ita.

"Ibu," Irma mendekati ibunya dan memeluknya. "Ibu jangan galau lagi deh! Aku akan berdoa sungguh-sungguh pada Tuhan, agar Dia memutus hubungan Ita dengan pria itu..."

"Doa memutus hubungan?" tanya ibunya, "ini doa yang aneh dan tampak sadis, Nduk! Setahuku, doa itu untuk menyatukan, memelihara dan mempererat hubungan. Bukan untuk memutuskan!"

"Jadi Ibu kepingin, Ita jadi bener-bener nikah sama pria itu?"

"Ya tidak dong! Aku bahkan takut!"

"Kalau gitu, cara satu-satunya ya harus diputusin hubungan mereka. Tapi kalau Ibu atau aku yang mutusin, pasti kita bermasalalah dengan mereka. Dan itu pun belum tentu berhasil..."

"Maksudmu, biar Tuhan sendiri yang memutuskan mereka?"

"Persis! Kalau Tuhan sendiri yang bertindak, itu pasti baik dan benar! Tindakan Tuhan tidak pernah salah dan tidak akan pernah gagal."

"Tapi persoalannya, apakah Tuhan mau mengabulkan doa kita yang seperti itu?"

"Ya, belum tahu, orang kita belum berdoa. Makanya mari sekarang, kita berdoa berdua memohon pada Yang Mahakuasa!"

Setelah mereka selesai berdoa berdua, Irma pun memberikan kepada ibunya testimoni pribadinya. Sebelum ini, Irma sudah pernah mendoakan agar adik perempuan bungsunya itu putus dengan dua pacarnya yang dahulu. Yang satu karena mereka tidak seiman. Sedang dengan pacarnya yang satunya, karena cowok itu pernah tersandung kasus narkoba.

Dan faktanya, doa-doa Irma sukses. Sebab semuanya dikabulkan Tuhan. Memang selain mendoakan, Irma juga dengan kasih mencerahi hati Ita, dengan nasihat yang logis dan kuat.

"Jadi, meski sebuah doa itu terkesan keras bahkan sadis, tapi kalau dikabulkan Tuhan berarti doa itu baik. Asal dilandasi dengan niat yang bener-bener baik, Bunda. Gitu...!"

"Selain untuk adikmu, apa pernah kamu mendoakan orang lain dengan 'doa yang keras' dan dikabulkan Tuhan?"

"Pernah Bun! Setahun yang lalu, pada kontestasi Pilkada, aku mendoakan seorang kandidat walikota agar tak terpilih. Alasanku, karena dia adalah mantan napi korupsi."

***

Seminggu kemudian beredar kabar yang mengagetkan, menyakitkan, mengecewakan tapi sekaligus melegakan. Bagi Ita Wulandari, kabar itu mengecewakan. Kenapa? Karena ternyata pria setengah abad yang mendekatinya itu, sudah punya seorang istri dan tiga orang anak. Namun bagi ibu dan kakaknya, berita itu amat melegakan.

"Usap air matamu!" bisik Irma sambil merangkul Ita. "Dan bersyukurlah, karena Tuhan sendiri telah memerdekakanmu dari kemungkinan yang terburuk!"

==000==

Bambang Suwarno-Palangkaraya, 18 Januari 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun