Akhirnya setelah "debat yang amat sengit", kecuali AS (yang walau pada 1998 menandatangani Protokol Kyoto namun kini mundur darinya) yang hadir sebagai pengamat saja, pada bulan Oktober 2001 semua negara peserta menyepakati prinsip-prinsip penerapan Protokol Kyoto pada sidang FCCC-COP ke-7 (2001) di Marrakesh, Maroko.
Pada Februari 2002, Presiden Bush mengumumkan bahwa kebijakan AS dalam hal  perubahan iklim secara unilateral namun tetap searah dengan arah internasional, mengandalkan tindakan sukarela dalam negeri, mengurangi "konsentrasi gas rumah kaca" dengan rasio antara emisi dan keluaran ekonomi  18% untuk 10 tahun ke depan.
Setahun kemudian perundingan internasional mengenai perubahan iklim FCCC-COP ke-8 (2003) diselenggarakan di Delhi-India, antara Oktober-November. Diumumkan bahwa negara yang meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim mencapai 187. Di antara mereka 96 negara telah meratifikasi Protokol Kyoto, termasuk 26 negara dari Annex I antara lain Uni-Eropa dan Jepang, yang mewakili 37,4% dari emisi GRK seluruhnya. Protokol Kyoto akan berlaku sebagai hukum internasional jika diratifikasi  55 negara peserta Konvensi Perubahan Iklim, termasuk negara-Annex I, dan mewakili 55% dari total emisi GRK tahun 1990.
Diskusi yang sengit terjadi sehubungan dengan dikotomi "negara maju"-"negara berkembang" yang tidak produktif jika dikaitkan dengan pembedaan kewajiban saja, tapi akan bermakna jika memfasilitasi dialog untuk menambah besaran komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca global. Dikotomi adaptasi-mitigasi  juga menyebabkan perbedaan pandangan. Sementara pihak menganggap adaptasi-mitigasi dua sisi dari mata uang yang sama, pihak yang lain menyikapi berbeda: mitigasi adalah tugas negara maju, adaptasi adalah tugas negara berkembang. Dikotomi keanggotaan UNFCCC dan Protokol Kyoto juga menimbulkan masalah, karena intervensi AS sering tidak memerhatikan batas perbedaan di antara keduanya, sementara statusnya sehubungan dengan Protokol adalah pengamat tanpa hak suara. Namun suara-suara AS ternyata berpengaruh dan mendapat dukungan para anggota Protokol. Dikotomi antara Pembangunan dan Lingkungan menyisihkan negara-negara Afrika yang menganggap pembangunan berkelanjutan sebagai hasil dari tata-kelola lingkungan yang baik, sedang negara-negara lain berwawasan bahwa pembangunan berkelanjutan justru menghasilkan tata-lingkungan yang baik dengan dana dan teknologi. Masih banyak kesenjangan dalam hal-hal itu. Kesepakatan diperoleh berkenaan dengan pedoman komunikasi negara-negara non-Annex I; "good practices" dalam kebijakan dan tindakan-tindakan; riset dan pengamatan sistematik; kerjasama dengan organisasi internasional yang relevan, dan masalah metodologi.
Satu negara lagi meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim PBB sehingga jumlahnya pada awal tahun 2003 adalah 188 negara. Pertambahan ratifikasi Protokol Kyoto pun menjadi 109 negara, termasuk 31 negara Annex I, yang seluruhnya mewakili 43,9% total emisi 1990. Ada kemajuan berarti menuju target 55% yang disyaratkan Protokol Kyoto untuk berlaku menjadi hukum internasional.Â
Antara 1-12 Desember 2003 lebih dari 5000 utusan dari 170 negara di seluruh dunia menghadiri perundingan FCCC-COP ke-9 di Milan-Italia. Sidang membahas dan mengambil keputusan mengenai rumusan dan cara memasukkan kegiatan pembuatan hutan baru dan pemulihan hutan lama ke dalam Clean Development Mechanism (CDM); pedoman "good practice" untuk tata-guna lahan, perubahan tata-guna lahan dan kehutanan  (LULUCF); Dana Khusus Perubahan Iklim  (Special Climate Change Fund, SCCF); dan Dana Negara Kurang Berkembang  (Least Developed Countries (LDC) Fund).
Dinamika Kerjasama Internasional Periode Dasawarsa Kedua 2004-2013
Sepuluh tahun sejak Konvensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) berlaku resmi, pada awal tahun 2004 tercatat 189 negara telah meratifikasi Konvensi. Ini menunjukkan perhatian yang sangat besar dari seluruh dunia pada masalah perubahan iklim global yang terutama disebabkan oleh konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Â Sedangkan keinginan untuk berbuat sesuatu bersama-sama sehubungan dengan itu ditunjukkan dengan keikutsertaan dalam Protokol Kyoto yang hingga awal 2004 diratifikasi 122 negara, termasuk 32 negara Annex I mewakili 44.2% total emisi GRK global tahun 1990. Masih diperlukan tambahan representasi emisi 11% lagi agar Protokol Kyoto berlaku.
Upaya menghadapi perubahan iklim dilanjutkan dalam sidang FCCC-COP ke-10 (6-18 Desember 2004) di Buenos Aires. Perundingan mendapat kemajuan dan keputusan pun diambil  berkenaan dengan pelbagai hal: transfer teknologi, mekanisme keuangan, pembinaan kapasitas, dampak yang merugikan dan adaptasi, dan artikel 6 UNFCCC mengenai pendidikan, pelatihan dan kesadaran umum. Tahun 2004 merupakan ulang tahun ke-10 UNFCCC, dan para peserta dengan rasa puas menengok ke belakang merenungkan apa yang telah mereka lakukan dan telah mereka hasilkan untuk memerhatikan situasi bumi dan manusia. Semua pihak menyambut gembira keputusan Federasi Rusia meratifikasi Protokol Kyoto, dan ini menjadi  jaminan bahwa upaya mitigasi akan berlangsung sepuluh tahun ke depan begitu Protokol Kyoto menjadi operasional pada 2005. Indonesia walau tidak termasuk negara dalam Annex I pun meratifikasi Protokol Kyoto dengan UU No.17/2004.
Akhir 2004, pada tahun ketujuh setelah disepakati,  129 negara meratifikasi Protokol Kyoto, termasuk 36 negara Annex I, mewakili  61.6% total emisi tahun 1990 Annex I, sehingga dengan demikian terpenuhilah syarat pemberlakukan Protokol Kyoto sebagai hukum internasional yang mengikat (melampaui syarat minimum 55 ratifikasi dari anggota Konvensi, termasuk negara Annex I, dan mewakili 55% total emisi tahun 1990) untuk tindakan pengurangan emisi minimum 5% dari tingkat total emisi tahun 1990 oleh negara-negara Annex I dalam periode antara 2008-2012 (periode komitmen pertama).
Pada awal tahun 2005, setelah Federasi Rusia meratifikasi Protokol Kyoto, jumlah negara yang meratifikasi Protokol berkembang menjadi  150, termasuk 37 negara Annex I, melampaui syarat mewakili 55% total emisi 1990 negara-negara Annex I, sehingga Protokol Kyoto resmi berlaku  pada 16 Februari 2005. Protokol Kyoto sendiri menetapkan agar pihak-pihak merundingkan pengurangan emisi pasca 2012 pada tahun 2005. Hal itu sudah disinggung dalam COP-10 di Buenos Aires. Maka sejak awal tahun 2005 persiapan dilakukan untuk itu menyongsong COP-11 di Montreal.