International  Monetary Fund (IMF) didirikan pada tahun 1944 sebagai bagian dari sistem Bretton Woods dengan tujuan utama menciptakan stabilitas moneter global. Organisasi ini berfungsi sebagai lembaga internasional yang memberikan bantuan finansial kepada negara-negara yang mengalami kesulitan ekonomi, khususnya terkait defisit transaksi berjalan. Salah satu instrumen paling penting yang dimiliki IMF adalah mekanisme pemberian pinjaman, yang bertujuan untuk membantu negara peminjam mengatasi krisis dan kembali ke jalur pertumbuhan yang berkelanjutan. Namun, bantuan ini tidak diberikan secara cuma-cuma. IMF menerapkan serangkaian persyaratan ekonomi yang dikenal sebagai IMF conditionality.
IMF Conditionality ini mengharuskan negara peminjam untuk melakukan reformasi ekonomi yang sering kali mencakup pemotongan anggaran, deregulasi sektor keuangan, liberalisasi perdagangan, serta privatisasi besar-besaran terhadap aset negara. Secara teori, langkah-langkah ini dirancang untuk meningkatkan daya saing ekonomi, memperbaiki neraca pembayaran, dan mengembalikan kepercayaan pasar terhadap negara yang mengalami krisis. Namun, dalam praktiknya, persyaratan yang diterapkan oleh IMF sering kali dianggap terlalu ketat dan kurang memperhitungkan kondisi sosial serta politik negara peminjam. Akibatnya, banyak negara yang mengalami kesulitan dalam memenuhi target yang ditetapkan dan justru mengalami dampak negatif, seperti meningkatnya kemiskinan, pengangguran yang tinggi, serta ketidakstabilan sosial yang memicu protes dan gejolak politik. Salah satu contohnya, adalah Argentina.Â
Argentina pada awal 1990-an menjadi "anak emas" IMF dan dunia internasional. Pemerintah menerapkan kebijakan Convertibility Plan yang mengaitkan peso Argentina dengan dolar AS dalam sistem kurs tetap. Ini dilakukan demi mengendalikan hiperinflasi yang sempat meroket hingga 5000% di akhir 1980-an. Pemerintah berhasil mengaitkan 1 peso dengan 1 dolar AS. Inflasi yang sempat mencapai 5.000% pada akhir 1980-an turun drastis menjadi hanya 4,2% pada 1994. Namun, keberhasilan itu ternyata rapuh.Â
Mari kita telaah perkembangan dan keterpurukan ekonomi Argentina dari tahun ke tahun hingga tahun 2001. Mulai memasuki tahun 1998, ekonomi global melambat. Harga ekspor Argentina menurun, dan negara mengalami resesi berkepanjangan. Produk Domestik Bruto (PDB) riil Argentina menyusut lebih dari 20% antara 1998 dan 2002. Ketika ekonomi global melambat, dan Brasil (mitra dagang utama) mengalami devaluasi, ekspor Argentina terpukul. Cadangan devisa menyusut, dan utang luar negeri membengkak.
Hal ini bisa terjadi karena Ketika ekonomi dunia melambat, permintaan internasional terhadap ekspor Argentina menurun. Negara-negara yang biasanya membeli produk Argentina mungkin mengurangi impor karena pelemahan ekonomi mereka sendiri. Akibatnya, pendapatan dari ekspor Argentina berkurang, sehingga menyebabkan defisit neraca perdagangan dan berkurangnya aliran devisa. Jadi ketika Brasil mengalami devaluasi Argentina juga terkena dampaknya. Brasil adalah mitra dagang utama Argentina. Ketika Brasil mendevaluasi mata uangnya (menurunkan nilai tukarnya terhadap dolar AS), barang-barang Argentina menjadi lebih mahal bagi konsumen dan perusahaan Brasil. Ini menyebabkan penurunan ekspor ke Brasil, yang semakin memperburuk defisit perdagangan Argentina.
Karena ekspor berkurang, Argentina menerima lebih sedikit pendapatan dalam bentuk devisa (dolar AS atau mata uang asing lainnya). Cadangan devisa menyusut karena negara tetap perlu membayar impor dan utang luar negeri, tetapi pemasukan dari ekspor tidak cukup untuk menyeimbangkan pengeluaran tersebut. Ketika cadangan devisa menyusut, Argentina semakin kesulitan membayar utang luar negerinya. Karena sistem kurs tetap yang mereka terapkan (Convertibility Plan), mereka tidak bisa secara fleksibel menyesuaikan nilai tukar peso untuk menyerap dampak ekonomi global. Akibatnya, pemerintah semakin mengandalkan utang luar negeri untuk menstabilkan ekonomi, yang pada akhirnya membuat krisis semakin parah.
Tahun 1999--2001, Argentina mengalami kontraksi ekonomi parah. Untuk menyelamatkan situasi, pemerintah mengajukan pinjaman sebesar USD 40 miliar kepada IMF. Masalah sangat banyak, mulai dari tingkat pengangguran pada tahun 2001 di Argentina mencapai 18,3%. Jumlah penduduk miskin meningkat sekitar 50% dari total populasi. Utang luar negeri total pada tahun 2001 lebih dari USD 132 miliar. Serta cadangan devisa akhir 2001 kurang dari USD 15 miliar.
Pada Desember 2000, IMF menyetujui paket bantuan senilai USD 14 miliar, bagian dari total dukungan senilai USD 40 miliar dari berbagai lembaga internasional dan negara mitra. Namun, sebagai imbalannya, IMF menuntut Argentina untuk:
* Mengurangi defisit anggaran menjadi 0 pada 2001.
* Melakukan pemotongan belanja negara, termasuk pendidikan dan kesehatan.
* Reformasi pensiun dan pengurangan upah pegawai negeri.
* Privatisasi layanan publik lanjutan.
Kebijakan ini sejalan dengan apa yang disebut  sebagai fiscal austerity, bagian dari kebijakan expenditure changing untuk mencapai external balance.  Fiscal austerity adalah kebijakan pemerintah untuk mengurangi pengeluaran dan/atau menaikkan pajak guna menekan defisit anggaran. Tujuannya adalah untuk menyeimbangkan keuangan negara, terutama saat menghadapi krisis atau tekanan utang.
Dalam teori ekonomi internasional (Krugman & Obstfeld), fiscal austerity termasuk ke dalam kebijakan expenditure-changing. Artinya, ini adalah kebijakan yang mengubah total permintaan agregat dalam suatu perekonomian biasanya dengan cara mengurangi belanja pemerintah (G) dan meningkatkan pajak (T). Hasilnya, konsumsi dan investasi turun, sehingga permintaan terhadap barang dan jasa menurun. Dalam konteks negara defisit, ini bisa mengurangi impor, memperbaiki neraca berjalan, dan membantu mencapai external balance.
Namun, jika diterapkan secara ekstrem di tengah resesi (seperti di Argentina 2001), fiscal austerity justru bisa memperdalam kontraksi ekonomi. Alih-alih memperbaiki keadaan, conditionality IMF memperburuk krisis. Hal ini sesuai dengan Debt Overhang Theory yang menjelaskan bagaimana utang luar negeri yang terlalu besar bisa menghambat pertumbuhan ekonomi. Argentina terjebak dalam kondisi di mana pendapatan negara tidak cukup untuk membayar utangnya, tetapi tanpa suntikan modal atau restrukturisasi, mereka terus mengalami kesulitan dalam menarik investasi atau melakukan pemulihan ekonomi.
Pemotongan anggaran dan upah memukul daya beli masyarakat, memicu protes besar, dan memperdalam keterpurukan ekonomi. Pada Desember 2001, terjadi kerusuhan massal, presiden Fernando de la Ra mengundurkan diri, dan Argentina mengalami default (gagal bayar) terbesar dalam sejarah dunia: sebesar USD 100 miliar. Argentina gagal bayar (default) utang luar negeri senilai USD 100 miliar, terbesar dalam sejarah dunia hingga saat itu. Sistem keuangan membeku, dan bank menerapkan pembatasan pengambilan uang (dikenal sebagai corralito). PDB menyusut lebih dari 10% dalam satu tahun.
Sehingga, IMF memutuskan menghentikan sisa bantuan karena dianggap Argentina gagal memenuhi target fiskal.
IMF bertujuan menyeimbangkan antara internal balance (pertumbuhan, stabilitas harga) dan external balance (neraca pembayaran). Namun, dalam kasus Argentina, tekanan untuk mengejar external balance lewat defisit anggaran nol tidak seimbang dengan kondisi internal yang sudah kolaps.
Ketiadaan fleksibilitas dalam kebijakan fiskal dan moneter menyebabkan Argentina terjebak dalam "four zones of economic discomfort". Argentina dipaksa memilih antara membayar utang atau menjaga kesejahteraan rakyat dan hasilnya adalah kehancuran ekonomi.
Lebih jauh, IMF disebut gagal memperhitungkan konteks sosial-politik Argentina dan menerapkan model penyesuaian makroekonomi yang terlalu generik. Ini mengingatkan pada analisis di dalam sistem Bretton Woods di mana negara-negara perlu ruang kebijakan (policy space) agar bisa mencapai keseimbangan internal dan eksternal secara simultan.
Pengalaman Argentina memberi pelajaran penting: bahwa bantuan finansial tidak cukup jika tidak dibarengi dengan fleksibilitas dan pemahaman terhadap kondisi domestik. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, yang juga pernah mengalami pengalaman serupa pada krisis 1998, penting untuk mengevaluasi kembali bentuk kerja sama dengan lembaga internasional. Di era pasca Bretton Woods, sistem kurs mengambang memberikan lebih banyak fleksibilitas kebijakan, namun juga menuntut kehati-hatian dalam memilih jalur stabilisasi.
Argentina bukanlah satu-satunya negara yang pernah mengalami kegagalan conditionality IMF. Namun, kasus ini adalah contoh paling dramatis tentang bagaimana kebijakan satu resep untuk semua (one size fits all) dapat menjadi bencana.
Ada tiga pelajaran utama yang bisa diambil dari kasus Argentina.Â
1. Fleksibilitas kebijakan sangat penting. Setiap negara memiliki konteks ekonomi, sosial, dan politik yang unik.
2. Utang tidak boleh menggantikan reformasi struktural jangka panjang yang dirancang oleh pemerintah sendiri, bukan oleh lembaga luar.
3. Peran IMF perlu ditinjau ulang: dari sekadar pemberi pinjaman menjadi mitra pembangunan yang memahami kebutuhan lokal.
Argentina bukanlah satu-satunya negara yang mengalami kegagalan akibat conditionality IMF, tetapi kasusnya menjadi contoh paling dramatis tentang bagaimana pendekatan one size fits all dalam kebijakan ekonomi dapat berujung pada bencana. Pengalaman Argentina mengajarkan bahwa fleksibilitas kebijakan sangat penting, karena setiap negara memiliki karakteristik ekonomi, sosial, dan politik yang unik. Kebijakan yang terlalu kaku sering kali gagal mengakomodasi kondisi domestik dan justru memperburuk krisis. Selain itu, utang tidak boleh menjadi pengganti reformasi struktural jangka panjang yang dirancang berdasarkan kebutuhan dan visi pemerintah sendiri, bukan ditentukan oleh lembaga luar. Jika negara hanya mengandalkan utang tanpa membangun fondasi ekonomi yang kuat, masalah keuangan hanya akan berulang. Terakhir, peran IMF perlu ditinjau ulang, bukan hanya sebagai pemberi pinjaman dengan syarat-syarat ketat, tetapi sebagai mitra pembangunan yang memahami kebutuhan lokal dan memberikan solusi yang lebih kontekstual. Tanpa perubahan pendekatan ini, IMF akan terus menghadapi kritik bahwa kebijakan yang diterapkannya lebih sering memperburuk keadaan daripada membantu negara keluar dari krisis. Argentina menjadi pengingat bahwa kebijakan ekonomi global tidak bisa disusun dengan satu formula untuk semua sebuah pendekatan yang lebih fleksibel dan berbasis kondisi nyata sangat diperlukan agar negara-negara yang mengalami kesulitan keuangan dapat bangkit secara berkelanjutan.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI