Mohon tunggu...
Baiq Silvia
Baiq Silvia Mohon Tunggu... Mahasiswa

An undergraduate student with passion on international studies

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Conditionality IMF dan Krisis Argentina 2001

2 Mei 2025   09:55 Diperbarui: 2 Mei 2025   09:55 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

* Privatisasi layanan publik lanjutan.

Kebijakan ini sejalan dengan apa yang disebut  sebagai fiscal austerity, bagian dari kebijakan expenditure changing untuk mencapai external balance.  Fiscal austerity adalah kebijakan pemerintah untuk mengurangi pengeluaran dan/atau menaikkan pajak guna menekan defisit anggaran. Tujuannya adalah untuk menyeimbangkan keuangan negara, terutama saat menghadapi krisis atau tekanan utang.

Dalam teori ekonomi internasional (Krugman & Obstfeld), fiscal austerity termasuk ke dalam kebijakan expenditure-changing. Artinya, ini adalah kebijakan yang mengubah total permintaan agregat dalam suatu perekonomian biasanya dengan cara mengurangi belanja pemerintah (G) dan meningkatkan pajak (T). Hasilnya, konsumsi dan investasi turun, sehingga permintaan terhadap barang dan jasa menurun. Dalam konteks negara defisit, ini bisa mengurangi impor, memperbaiki neraca berjalan, dan membantu mencapai external balance.

Namun, jika diterapkan secara ekstrem di tengah resesi (seperti di Argentina 2001), fiscal austerity justru bisa memperdalam kontraksi ekonomi. Alih-alih memperbaiki keadaan, conditionality IMF memperburuk krisis. Hal ini sesuai dengan Debt Overhang Theory yang menjelaskan bagaimana utang luar negeri yang terlalu besar bisa menghambat pertumbuhan ekonomi. Argentina terjebak dalam kondisi di mana pendapatan negara tidak cukup untuk membayar utangnya, tetapi tanpa suntikan modal atau restrukturisasi, mereka terus mengalami kesulitan dalam menarik investasi atau melakukan pemulihan ekonomi.

Pemotongan anggaran dan upah memukul daya beli masyarakat, memicu protes besar, dan memperdalam keterpurukan ekonomi. Pada Desember 2001, terjadi kerusuhan massal, presiden Fernando de la Ra mengundurkan diri, dan Argentina mengalami default (gagal bayar) terbesar dalam sejarah dunia: sebesar USD 100 miliar. Argentina gagal bayar (default) utang luar negeri senilai USD 100 miliar, terbesar dalam sejarah dunia hingga saat itu. Sistem keuangan membeku, dan bank menerapkan pembatasan pengambilan uang (dikenal sebagai corralito). PDB menyusut lebih dari 10% dalam satu tahun.

Sehingga, IMF memutuskan menghentikan sisa bantuan karena dianggap Argentina gagal memenuhi target fiskal.

IMF bertujuan menyeimbangkan antara internal balance (pertumbuhan, stabilitas harga) dan external balance (neraca pembayaran). Namun, dalam kasus Argentina, tekanan untuk mengejar external balance lewat defisit anggaran nol tidak seimbang dengan kondisi internal yang sudah kolaps.

Ketiadaan fleksibilitas dalam kebijakan fiskal dan moneter menyebabkan Argentina terjebak dalam "four zones of economic discomfort". Argentina dipaksa memilih antara membayar utang atau menjaga kesejahteraan rakyat dan hasilnya adalah kehancuran ekonomi.

Lebih jauh, IMF disebut gagal memperhitungkan konteks sosial-politik Argentina dan menerapkan model penyesuaian makroekonomi yang terlalu generik. Ini mengingatkan pada analisis di dalam sistem Bretton Woods di mana negara-negara perlu ruang kebijakan (policy space) agar bisa mencapai keseimbangan internal dan eksternal secara simultan.

Pengalaman Argentina memberi pelajaran penting: bahwa bantuan finansial tidak cukup jika tidak dibarengi dengan fleksibilitas dan pemahaman terhadap kondisi domestik. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, yang juga pernah mengalami pengalaman serupa pada krisis 1998, penting untuk mengevaluasi kembali bentuk kerja sama dengan lembaga internasional. Di era pasca Bretton Woods, sistem kurs mengambang memberikan lebih banyak fleksibilitas kebijakan, namun juga menuntut kehati-hatian dalam memilih jalur stabilisasi.

Argentina bukanlah satu-satunya negara yang pernah mengalami kegagalan conditionality IMF. Namun, kasus ini adalah contoh paling dramatis tentang bagaimana kebijakan satu resep untuk semua (one size fits all) dapat menjadi bencana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun