Mohon tunggu...
Abdul Rahim
Abdul Rahim Mohon Tunggu... Freelancer - pengajar di Fakultas Ushuluddindan Studi Agama UIN Mataram, Pegiat Rumah Belajar dan Taman Baca Kompak, Lombok Timur

I'm the moslem kontak 087863497440/085337792687 email : abdulrahim09bi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Krisis Humanisme dan Kapitalisasi Pelayanan Kesehatan

7 September 2017   14:05 Diperbarui: 7 September 2017   15:34 1594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namanya Sherkan Ramazan Malik, terlahir prematur dan sekarang (06/09/17) masih tertahan di RS. Sardjito sebab belum mampu melunasi biaya rawat inap yang mencapai 87 juta. Informasi pertama kali terkait sang bayi pertama kali diposting di grup facebook Info Cegatan Jogja yang setiap hari mengabarkan terkait kejanggalan yang terjadi di sekitar jogja. Sang bayi dari pasangan mahasiswa asal Jerowaru Lombok Timur NTB ini kabarnya dirujuk dari RS. Hidayatullah tempatnya dilahirkan dan perlu perawatan lebih intensif sehingga dirujuk ke RSUP Dr. Sardjito UGM.

BPJS yang katanya sebagai bagian dari pelayanan untuk jaminan sosial belum bisa diandalkan, sebab proses untuk pembuatannya di Lombok masih perlu waktu untuk diuruskan. Jadilah biaya rawat inap yang katanya sebesar 2 juta rupiah perhari semakin membengkak dan sang bayi bak tahanan di RS tersebut.

Hasil kunjungan beberapa kawan ke RS tersebut, memang pihak RS mengharuskan untuk melunasi biaya sebesar 50 % baru bisa diizinkan keluar. Krisis kemanusiaan dalam bentuk kapitalisasi atas pelayanan kesehatan bukan sekali dua kali ini terjadi. Banyak kasus lainnya yang juga menunjukkan betapa pasien yang dirawat dengan BPJS tidak diberikan pelayanan secara manusiawi. Sebab layanan kesehatan saat ini tak ubahnya macam perusahaan yang ingin meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dari pasien.

Perincian Biaya sementara
Perincian Biaya sementara
Bahkan beberapa kasus penelantaran pasien yang menunggu untuk diperiksa pernah juga saya alami ketika mengantar seorang kawan pada bulan Puasa 2016 lalu, di RS yang sama tempat bayi ini dirawat. Yang akhirnya kawan tersebut memaksakan diri untuk dirawat di salah satu RS milik Yayasan, dengan merelakan tiket pesawat kepulangan yang sudah dipesan jauh-jauh hari hangus sebab para perawatnya memberikan efek ketakutan atas akan dropnya kondisi sang kawan ketika akan berangkat pulang ke daerah.

Kasus lainnya terkait bayi dengan perawatan intensif dengan inkubator pernah pula dialami kakak perempuan saya dengan perawatan di salah satu RS di Lombok Timur. Biaya pembelian obat yang tidak tercover dengan BPJS mengharuskan sang bapak yang berada di Rantauan sebagai TKI di negara tetangga untuk pulang membantu mengurus perawatan sang bayi (keponakan saya). BPJS pun dapat terurus meski harus membayar sejumlah biaya terlebih dahulu untuk pembelian obat dan biaya rawat inap.

Waktu itu sang bayi juga dirawat intensif dengan tabung inkubator, barulah awal tahun 2016 saya dapat info ada salah seorang Professor di UI (Raldi Artono Koestoer) yang meminjamkan tabung inkubator secara gratis dan membantu pembuatan inkubator bagi masyarakat yang membutuhkan. Beliau pun tak mau menjadikan penemuannya tersebut dijadikan hak paten yang katanya mengharuskan beliau untuk membayar sejumlah uang agar mendapat sertfikat hak paten tersebut. Sisi humanis dari sang professor yang membantu penyelamatan bayi-bayi prematur tak salah jika beliau disebut sebagai ayah dari bayi-bayi prematur. (https://www.inspirasi.co/abdul_rahim/17110_nayaka-praja---dari-kami-untuk-indonesia)

BPJS dan Krisis Humanisme

Masih ingat betul ketika masa-masa kecil dulu tatkala ada orang sakit di kampung, semua warga mempunyai rasa kekhawatiran atas si sakit. Lalu beramai-ramai datang menjenguk, sejauh apa pun tempat si sakit dirawat, bahkan jika tidak dapat ikut menjenguk,  ada moral sosial yang menghinggapi mereka, atau mereka kadang menitipkan sejumlah uang untuk biaya pengobatan si sakit melalui warga yang datang menjenguk. Banyak hal yang saya amati bagaimana tingginya solidaritas masyarakat di kampung waktu dulu terkait saudara yang sakit.

Hal yang menjadi pijakan mereka yaitu hadits Rasulullah yang menjelaskan tentang Haqqul Muslim alal muslim (kewajiban seorang muslim atas muslim yang lainnya) yang salah satunya yaitu, wa idza maridha fa'idhu (dan apabila mereka sakit, maka jenguklah). Semangat atas kewajiban terhadap sesama muslim menjadi dasar yang kokoh atas terciptanya solidaritas sosial di masyarakat.

Hal ini sangat terasa ketika almahum bapak setelah mengalami kecelakaan sebab kaki yang hancur lebur, dan terpaksa tulang di-gift. di akhir hayat beliau lebih sering dibawa ke rumah sakit dari pada berada di rumah. Saat itulah saya saksikan bagaimana semangat solidaritas masyarakat kami ketika datang menjenguk ke rumah sakit atau pun ketika sudah berada di rumah. Kekeluargaan yang tercipta semakin menjadi semangat bagi si sakit untuk sembuh terutama dengan doa-doa dari warga yang datang menjenguk.

Akan tetapi perlahan solidaritas itu pun mulai memudar tatkala salah satu program pemerintah berupa asuransi yang menjadi BUMN bernama BPJS mulai diluncurkan. Warga yang biasanya membantu semampunya dengan memberikan bantuan untuk pengobatan si sakit, kini berubah pola pikir dengan mengandalkan biaya yang akan dibayarkan melalui BPJS yang iuran tiap bulannya sudah dibayarkan terlebih dahulu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun