Mohon tunggu...
APRIANUS GREGORIAN BAHTERA
APRIANUS GREGORIAN BAHTERA Mohon Tunggu... pelajar SMA

Saya suka membaca, menulis, Konten motivasi saya suka menonton video motivasi dan berminat di dunia teater

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surat Untuk Negri Yang Lupa diri

12 Oktober 2025   17:37 Diperbarui: 12 Oktober 2025   19:57 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku menulis bukan untuk memprovokasi. Aku menulis karena ada terlalu banyak yang memilih bungkam karena takut kehilangan sedikit yang dimiliki. Tapi aku sudah terlalu sering kehilangan: tanah, teman, bahkan kepercayaan.

Malam makin dalam. Dingin mulai menggigit. Tapi tanganku masih hangat oleh kemarahan yang sabar. Pukul 08.00 malam, ada ketukkan di pintu kayu. Suaranya pelan, seperti seseorang yang ragu mengetuk nasib. Aku buka. Di luar berdiri seorang lelaki paruh baya, berjaket lusuh dan wajah penuh keriput. Namanya Pak Danar. Ia ketua kelompok tani,  sekaligus orang yang dulu bersama bapakku memprotes perluasan tambang yang merobek hutan kami.

"Tino aku dengar kamu menulis surat lagi?" tanyanya, suara serak.

Aku mengangguk. Ia duduk. Mengeluarkan sebungkus tembakau, dan mulai melinting rokok dengan kertas koran yang memuat foto menteri baru. " kadang, " katanya setelah menarik napas dalam, " yang kita lawan bukan lagi orang, tapi sistem yang tak punya hati."

Aku mengangguk.

"Aku ingin kumpulkan surat-surat ini, Pak," kataku. "Biar suatu hari, anak-anak di kampung ini tahu bahwa kita tidak diam saja waktu negeri ini melupakan mereka."

Pak Danar menatapku lama. " Kamu berani, Tino. Tapi hati-hati. Sekarang, kebenaran bisa dianggap hasutan."

Aku hanya tertawa tipis.  " Kalau kebenaran dianggap ancaman, mungkin negeri ini sedang sakit lebih dalam dari yang kita kira."

Kami bicara lama malam itu. Tentang tanah yang dijual oleh kepala desa ke investor asing. Tentang danau yang perlahan mengering karena pabrik semen di hulu. Tentang anak-anak yang sekarang harus belajar sambil kerja, karena sekolah gratis nyatanya tak menanggung sepatu, buku, atau perut yang lapar.

Pak Danar kemudian bangkit. Sebelum pergi, ia menepuk bahuku.

" Teruskan menulis, Tino. Biar negeri ini punya cermin. Walau retak, cermin tetap bisa memperlihatkan wajah aslinya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun