Aku menulis surat ini, sebuah gubuk tua, beratapkan seng karatan dan berdinding papan yang mengelupas, di lereng timur Ranaka. Di tempat ini, angin tak hanya membawa bau rumput dan tanah, tapi juga desah panjang dari mereka yang diam-diam masih berharap pada negeri yang perlahan melupakan wajahnya sendiri.
Namaku Tino. Biasa saja. Sama seperti hidupku yang terlalu sering diabaikan negara. Tapi, justru dari hidup yang biasa inilah aku menyaksikan hal-hal yang tak biasa. Janji yang dibeli dengan nasi bungkus, mimpi yang dicuri dengan hutang pendidikan, dan suara-suara rakyat yang tenggelam dalam gelak tawa di ruang parlemen ber-AC.
Aku membuka lembar pertama buku tua yang dulu milik bapakku. Di dalamnya, sudah mulai pudar tulisan-tulisan tangannya tentang Indonesia, tentang harapan dan kemarahan yang ditulis dengan tinta biru murah. Hari ini, aku ingin menyambung kisah itu. Bukan dengan tinta, tapi dengan luka.
"Negeri ini terlalu sering bicara soal cinta tanah air," tulisku, " tapi lupa mencintai rakyatnya sendiri."
Di luar, gemuruh truk pengangkut kayu bergema, meninggalkan debu dan kesunyian. Hutan yang dulu lebat, sekarang tinggal barisan akar yang terangkat dan pohon-pohon tua yang roboh seperti harapan petani yang kehilangan tanah warisan karena tambang yang dibela oleh izin negara.
"Pak Tino!Pak Tino!" suara itu datang dari Tania, gadis sepuluh tahun yang tiap pagi mampir ke gubukku untuk belajar membaca. Ia datang berlari, membawa buku lusuh dan secarik roti singkong.
"Sudah baca koran tadi pagi?"
tanyanya polos.
Aku tertawa kecil. "Gubuk ini tidak langganan koran, Dara."
Ia menyodorkan potongan berita yang sudah diremas-remas. Judulnya: "Pemerintah Targetkan Nol Kemiskinan Tahun Depan".
"Artinya kita bakal kaya, ya, Pak?" tanyanya sambil menggigit roti.