Kita hidup di zaman ketika istilah bisa dengan mudah disalahartikan, termasuk istilah tentang makanan.
Belakangan ini, muncul tren yang menyebut bahwa "real food" adalah makanan yang sehat, alami, tidak diproses, dan berasal langsung dari alam.
Sementara itu, "processed food" dianggap seolah bukan makanan sungguhan.
Di sinilah masalahnya bermula. Jika kita berpikir logis, processed food tetaplah real food (makanan yang nyata, bisa dimakan).
Makanan tersebut nyata, bisa dimakan, dan memberi gizi. Itu bukan benda plastik yang hanya menyerupai makanan.
Karena itu, penyebutan "real food" menjadi aneh ketika makanan yang diolah dianggap bukan makanan nyata.
Perlu kita pahami, lawan kata dari real adalah fake, bukan processed. Dari sini sudah jelas sekali apa perbedaannya. Dua lawan kata tersebut menggambarkan kondisi makanan tersebut yang asli dan tipuan, sedangkan kata "processed" merujuk pada sebuah pengolahan, sebuah proses bagaimana makanan itu dibuat.
Saat Istilah Diubah Menjadi Keyakinan
Kesalahpahaman ini muncul karena media sosial dan tren gaya hidup sering mencampuradukkan istilah "ilmiah" dengan opini pribadi tanpa memahami makna atau definisi dari kata itu sendiri.
Banyak influencer gizi yang mengajak masyarakat "kembali ke real food" seolah-olah processed food adalah racun bagi tubuh.
Padahal, tidak ada makanan yang benar-benar tidak diproses.
Ketika kita mencuci beras, merebus telur, atau menggoreng ikan, semua itu sudah termasuk proses.
Mengeringkan, menggiling, menghaluskan, dan memfermentasi juga termasuk bentuk pengolahan makanan.
Artinya, setiap makanan yang melewati tangan manusia sudah termasuk processed food, dan hal itu sama sekali bukan masalah.
Baca juga: Ini Makanan yang Terbaik untuk Tubuh KitaJika begitu, apakah tempe bukan real food karena difermentasi?
Apakah roti gandum tidak nyata karena melalui proses pemanggangan?
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!