Mohon tunggu...
Bagas Kurniawan
Bagas Kurniawan Mohon Tunggu... Biotechnologist and Food Technologist

Konsultan Manajemen Mutu dan Keamanan Pangan. Penulis Artikel. Berbagi ilmu dengan cara santai. Blog pribadi: https://www.nextgenbiological.com/ Email: cristanto.bagas@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Alasan Makanan UPF Tidak Cocok untuk MBG

1 Oktober 2025   17:01 Diperbarui: 1 Oktober 2025   18:09 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Makanan-Makanan UPF | Sumber gambar: Alan Alvez/unsplash.com

Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) adalah salah satu kebijakan unggulan yang digadang-gadang pemerintah sebagai solusi untuk mengatasi masalah gizi anak Indonesia. Ide dasarnya sederhana: setiap anak sekolah berhak mendapat makanan sehat, bergizi, dan aman setiap hari. Melalui MBG, diharapkan anak-anak bisa tumbuh lebih sehat, lebih cerdas, dan terbebas dari ancaman stunting yang masih membayangi banyak daerah.

Namun, di tengah semangat besar ini, muncul perdebatan menarik: apakah makanan ultra-proses (UPF, Ultra-Processed Foods) boleh masuk ke dalam menu MBG? Pertanyaan ini tidak bisa dianggap sepele. Di satu sisi, UPF menawarkan kepraktisan, harga relatif terjangkau, dan daya simpan yang lama. Di sisi lain, banyak pakar gizi dan kesehatan masyarakat menilai bahwa UPF justru bertolak belakang dengan misi MBG itu sendiri.

Mari kita bedah secara ilmiah dan praktis, mengapa UPF sebaiknya tidak mendapat tempat dalam program MBG.

Apa Itu UPF?

Istilah UPF semakin sering kita dengar dalam diskusi gizi global. UPF adalah makanan yang diproses secara intensif menggunakan teknologi industri, dengan tambahan zat-zat seperti perisa buatan, pewarna, pengawet, emulsifier, hingga pemanis sintetis. Menurut klasifikasi NOVA, UPF bukan sekadar makanan olahan biasa, melainkan produk yang hampir sepenuhnya diformulasikan dari zat hasil industri, bukan dari bahan pangan segar (Monteiro et al., 2019).

Contoh UPF yang umum ditemui sehari-hari antara lain: nugget instan, sosis, mie instan, snack gurih berperisa, minuman ringan, hingga biskuit manis kemasan. Produk ini praktis, enak, dan mudah didapat. Namun di balik kepraktisannya, terdapat risiko kesehatan yang besar bila dikonsumsi secara rutin.

Mengapa UPF Tidak Cocok untuk MBG?

1. Kandungan Gizi Rendah, Kalori Tinggi

Salah satu alasan utama mengapa UPF tidak cocok untuk MBG adalah kualitas gizinya yang rendah. Banyak UPF tinggi kalori dari gula tambahan, garam, dan lemak jenuh, namun miskin vitamin, mineral, dan serat. Akibatnya, anak yang sering mengonsumsi UPF bisa mengalami fenomena "hidden hunger": tubuhnya tidak kekurangan energi, tetapi kekurangan zat gizi penting yang dibutuhkan untuk tumbuh kembang (Fardet, 2016).

Program MBG justru dirancang untuk mengatasi kekurangan gizi mikro di kalangan anak-anak. Maka jika UPF masuk, program ini berisiko kehilangan tujuan mulianya.

2. Risiko Kesehatan Jangka Panjang

UPF bukan hanya masalah gizi jangka pendek. Konsumsi rutin terbukti berkaitan dengan berbagai penyakit kronis. Penelitian di Prancis terhadap puluhan ribu responden menunjukkan bahwa peningkatan konsumsi UPF sebesar 10% meningkatkan risiko kanker sebesar 12% (Fiolet et al., 2018).

Selain itu, studi global juga mengaitkan UPF dengan meningkatnya risiko obesitas, hipertensi, diabetes tipe 2, bahkan penyakit jantung. Bayangkan jika anak-anak sejak kecil sudah terbiasa dengan UPF melalui MBG. Alih-alih sehat, mereka bisa mewarisi beban penyakit kronis di masa depan.

3. Tidak Sesuai dengan Pedoman Gizi Seimbang

Kementerian Kesehatan RI sudah lama menekankan prinsip Pedoman Gizi Seimbang, yaitu makan makanan beragam, cukup buah dan sayur, sumber protein hewani dan nabati, serta batasi gula, garam, dan lemak (Kemenkes RI, 2014). UPF jelas tidak bisa memenuhi prinsip ini.

Produk UPF biasanya miskin keragaman pangan alami dan justru melimpah aditif. Bila MBG menggunakan UPF, maka ia keluar jalur dari standar gizi yang sudah ditetapkan pemerintah sendiri.

4. Hilangnya Fungsi Edukasi

Program MBG tidak hanya sekadar memberi makan. Ia juga punya fungsi edukasi, yaitu mengajarkan anak-anak sejak dini tentang pola makan sehat. Jika UPF diberikan dalam program, pesan yang sampai ke anak justru keliru: bahwa makanan instan, praktis, dan berperisa buatan adalah "makanan bergizi" yang direkomendasikan sekolah.

Hal ini berbahaya karena bisa membentuk pola konsumsi jangka panjang yang salah. Anak akan tumbuh dengan preferensi tinggi terhadap makanan instan, dan semakin menjauh dari konsumsi buah, sayur, dan lauk segar.

Bagaimana dengan Pangan Olahan Lain?

Penting untuk membedakan antara UPF dan pangan olahan lainnya. Tidak semua pangan olahan berbahaya. Ada yang masuk kategori minimally processed foods, seperti tempe, tahu, susu pasteurisasi, atau roti gandum. Pangan ini memang melalui proses, tetapi tidak sampai merusak kandungan gizi utama.

Contohnya tempe, hasil fermentasi kedelai dengan jamur Rhizopus yang justru meningkatkan kandungan vitamin B12 dan protein. Atau susu pasteurisasi, yang dengan sedikit proses panas mampu membunuh bakteri patogen tanpa menghilangkan zat gizi penting. Makanan semacam ini tetap layak masuk dalam program MBG.

Artinya, yang perlu dihindari adalah UPF dengan aditif berlebihan dan nilai gizi rendah, bukan seluruh produk olahan.

Perspektif Keamanan Pangan

Selain aspek gizi, UPF juga menimbulkan pertanyaan soal keamanan pangan. Banyak produk UPF mengandung aditif sintetis yang meski diizinkan, bila dikonsumsi terus-menerus bisa menimbulkan efek kesehatan. Misalnya, konsumsi tinggi natrium dalam makanan kemasan bisa memicu tekanan darah tinggi sejak usia muda.

Selain itu, proses industri yang panjang juga membuka peluang terbentuknya senyawa baru yang bersifat karsinogenik. Contohnya, senyawa acrylamide bisa terbentuk saat pengolahan makanan kaya pati pada suhu sangat tinggi (Fardet, 2016).

Dalam konteks MBG, memasukkan UPF berarti mengabaikan prinsip keamanan pangan preventif, padahal anak-anak sekolah adalah kelompok yang paling rentan terhadap bahaya ini.

Aspek Sosial dan Ekonomi

Tidak bisa dipungkiri, UPF menawarkan keunggulan dalam hal distribusi. Dengan daya simpan lama, makanan bisa dikirim ke banyak sekolah tanpa khawatir cepat basi. Harganya pun relatif murah karena diproduksi massal.

Namun, jika pemerintah memilih jalan pintas dengan memasukkan UPF ke MBG, biaya kesehatan masyarakat di masa depan akan jauh lebih besar. Generasi muda bisa mengalami peningkatan penyakit kronis, yang pada akhirnya menjadi beban ekonomi bagi negara.

Investasi jangka panjang yang benar adalah membangun dapur MBG berbasis bahan segar di sekolah-sekolah, bukan bergantung pada industri UPF. Dengan begitu, anak-anak bisa belajar langsung menghargai makanan sehat, sementara ekonomi lokal (petani, nelayan, UMKM pangan segar) juga ikut berputar.

Apa Solusinya?

  1. Fokus pada Bahan Pangan Segar
    Program MBG harus menitikberatkan menu berbasis nasi, lauk hewani-nabati, sayur, dan buah.

  2. Gunakan Olahan Minimal yang Sehat
    Tempe, tahu, ikan pindang, atau susu pasteurisasi bisa masuk sebagai variasi menu sehat.

  3. Bangun Dapur MBG di Sekolah
    Dengan dapur sendiri, sekolah bisa mengontrol kualitas bahan dan proses memasak.

  4. Edukasi Anak tentang Pangan Sehat
    MBG bisa menjadi sarana pembelajaran langsung tentang pentingnya pola makan seimbang.

  5. Libatkan UMKM dan Petani Lokal
    Alih-alih membeli UPF industri besar, dana MBG bisa digunakan untuk memberdayakan pelaku pangan lokal.

Kesimpulan

Makanan ultra-proses (UPF) sangat tidak disarankan untuk program Makanan Bergizi Gratis. UPF tidak hanya miskin gizi dan tinggi kalori, tetapi juga meningkatkan risiko penyakit jangka panjang, tidak sesuai dengan pedoman gizi seimbang, serta merusak fungsi edukatif MBG.

Program MBG sebaiknya fokus pada bahan segar, olahan minimal, dan dapur yang higienis di sekolah. Dengan begitu, MBG bukan hanya mengenyangkan, tetapi juga menyehatkan, mendidik, dan menjadi investasi jangka panjang bagi kesehatan generasi penerus bangsa.

Daftar Pustaka

  • Fardet, A. (2016). Minimally processed foods are more satiating and less hyperglycemic than ultra-processed foods: A preliminary study with 98 ready-to-eat foods. Food & Function, 7(5), 2338--2346. https://doi.org/10.1039/c6fo00107f
  • Fiolet, T., Srour, B., Sellem, L., Kesse-Guyot, E., Alls, B., Mjean, C., Deschasaux, M., Fassier, P., Latino-Martel, P., Beslay, M., Hercberg, S., & Touvier, M. (2018). Consumption of ultra-processed foods and cancer risk: Results from NutriNet-Sant prospective cohort. BMJ, 360, k322. https://doi.org/10.1136/bmj.k322
  • Kementerian Kesehatan RI. (2014). Pedoman Gizi Seimbang. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
  • Monteiro, C. A., Cannon, G., Lawrence, M., Costa Louzada, M. L., & Pereira Machado, P. (2019). Ultra-processed foods, diet quality, and health using the NOVA classification system. Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun