Efek kata semakin besar ketika digunakan dalam wacana publik. Pemimpin politik, tokoh masyarakat, hingga media massa memiliki peran besar dalam menentukan kata-kata yang membentuk opini. Contohnya, istilah "penghematan" (austerity) bisa membuat publik menerima kebijakan pemotongan anggaran sebagai hal yang rasional, meskipun dalam praktiknya menimbulkan kesulitan sosial.
Dalam isu lingkungan, kata "perubahan iklim" terdengar lebih netral dibanding "krisis iklim." Pergeseran istilah ini terbukti memengaruhi seberapa serius publik merespons isu tersebut (Nisbet, 2009).
Kekuatan Kata dan Kehidupan Sehari-hari
Kekuatan kata bukan hanya milik media atau pemerintah. Dalam kehidupan pribadi, kata-kata yang kita pilih setiap hari menentukan suasana hati dan relasi dengan orang lain.
Beberapa contoh nyata:
Mengatakan "Saya sibuk sekali" bisa memicu rasa tertekan, sementara mengganti dengan "Saya sedang produktif" bisa memunculkan rasa pencapaian.
Menyebut masalah sebagai "tantangan" membuat otak lebih fokus mencari solusi daripada hanya meratapi kesulitan.
Dalam interaksi sosial, kata "tolong" dan "terima kasih" terbukti memperkuat hubungan interpersonal dan kepercayaan.
Jika ditarik ke skala besar, pola bahasa yang berulang bisa menciptakan budaya tertentu. Budaya optimisme, misalnya, banyak dipengaruhi oleh kecenderungan masyarakat menggunakan kata yang memberi harapan. Sebaliknya, budaya pesimis bisa terbentuk jika kata-kata negatif mendominasi percakapan publik.
Kondisi ini menunjukkan bahwa kata-kata tidak hanya membentuk realitas individu, tetapi juga realitas kolektif.
Strategi Memanfaatkan Kekuatan Kata