Matahari menelan tubuhmu, di tengah kepergianmu, meninggalkan bayang, tidak mungkin kusentuh.
Ramalan puisi tentang perpisahan sudah tertulis sejak sajak pertama; dikatakan dari rayumu.
Linangan makna tidak lagi teduh, sebab air mata yang diteteskan berupa bara api, membakar senduh kata manismu
Ciuman rasa belum tentu abadi, kamu memilih pergi, jauh menuju angkasa bersama karsa bergelimang harta.
Lalu semua serapah tak ingin aku ungkapkan, bibirku terbuat dari doa ibuku, telingaku di-azan-kan oleh merdu suara bapakku.
Begitu berharga anatomiku, tidak akan kusia-siakan, untuk kesaksian rasa yang semu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI