Mohon tunggu...
A. Ammar
A. Ammar Mohon Tunggu... Mahasiswa

Penulis sedang fokus pada isu pendidikan dan politik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kepemimpinan Anak Muda: Visi, Teknologi, dan Tawakkal

7 September 2025   19:31 Diperbarui: 13 September 2025   21:29 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Momentum Pelantikan, Raker, dan Launching Majalah Pena Kader HMI Komisariat Fitrah Universitas Muhammadiyah Ponorogo Periode 2024-2025/Foto: Tim Fitra

Membangun kepemimpinan anak muda yang tangguh di tengah gelombang disrupsi digital menuntut keberanian mempertemukan dua kutub: kecepatan inovasi dan kedalaman pijakan nilai. Saat ini, banyak organisasi milik generasi muda terjebak mengejar tren teknologi tanpa refleksi atas dampak moral dan sosialnya. Padahal, menjadi pemimpin bukan sekadar memindahkan data dari satu laptop ke laptop lain, melainkan menggerakkan hati dan pikiran manusia menuju tujuan bersama. Tanpa fondasi nilai yang kokoh, setiap gebrakan inovatif hanya akan menjadi euforia sesaat. Di sinilah warisan kepemimpinan Rasulullah dan Khulafa' Ar-Rasyidin menawarkan jawaban, yaitu sinergi ideal antara visi transformatif dan integritas moral.

Rasulullah mengajarkan betapa pentingnya menguasai waktu dan keadaan sebagai modal utama kepemimpinan. Ketika memberikan tugas kepada para sahabat, beliau tidak sekedar membagi tugas administratif, melainkan menanamkan makna setiap perintah sebagai ibadah. Dengan demikian, setiap detik yang berlalu menjadi ladang amal kolektif---bukan sekadar angka tercentang di papan manajemen. Generasi muda harus menyerap semangat proaktif ini: memetakan prioritas, lalu memanfaatkan teknologi untuk mengoptimalkan waktu, bukan terjebak dalam rapat-rapat yang kehilangan substansi. Bukankah efektivitas sejati lahir dari keseimbangan antara kecepatan dan kedalamaForon?

Foto Penulis saat memberikan sambutan pada acara Rapat Anggota Komisariat Fitrah dengan Tema
Foto Penulis saat memberikan sambutan pada acara Rapat Anggota Komisariat Fitrah dengan Tema "Arah Baru Kepemimpinan Transformasional"/Foto: Fitrah Me
Orientasi pada hasil konkret telah menjadi tolok ukur profesionalitas pemimpin pada masa Islam klasik. Ali bin Abi Thalib pernah berkata; "Ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah." Prinsip ini relevan bagi generasi muda (milenial, zilenial) yang sering terjebak dalam rapat panjang tanpa tindak lanjut nyata. Setiap program, kampanye, atau inovasi digital harus mengarah pada perbaikan sistematik---apakah itu peningkatan kesejahteraan anggota, transparansi pengelolaan dana, atau dampak sosial yang berkelanjutan. Dengan menetapkan indikator performa yang jelas, kita mencegah kepemimpinan merosot menjadi sekadar pertunjukan angka dan laporan tanpa makna.

Kepemimpinan Islam menegaskan pentingnya mengakui kelebihan orang lain tanpa rasa cemburu atau takut kehilangan posisi. Rasulullah dan para Khulafa' Ar-Rasyidin memilih penasihat terbaik meski mereka berasal dari kalangan non-kerabat dan berlatar belakang berbeda. Toleransi ini membuka jalan bagi meritokrasi sejati---prinsip yang sangat dibutuhkan oleh generasi muda untuk menumbuhkan lingkungan kerja kreatif dan inklusif. Dalam era di mana kolaborasi lintas disiplin menjadi kunci inovasi, mengedepankan kelebihan anggota tim justru memperkuat otoritas pemimpin. Dengan demikian, kekuatan kolektif muncul secara organik, bukan dipaksakan melalui hirarki timpang.

Tawakkal sebagai pilar utama kepemimpinan Islam mengajarkan kita bahwa visi tinggi harus dibarengi keikhlasan dan penyerahan diri kepada Sang Pencipta. Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah meneguhkan pasukannya dengan keyakinan bahwa kemenangan bukan semata-mata hasil strategi militer, melainkan rahmat Allah SWT. Prinsip ini mengundang pemimpin dari anak muda untuk menegakkan cita-cita ambisius---baik dalam membangun koperasi ekonomi kreatif maupun gerakan sosial---tanpa terjebak kekhawatiran berlebihan akan risiko. Tawakkal bukan alasan kemalasan, melainkan kekuatan spiritual yang memicu keteguhan hati menghadapi ketidakpastian.

Melanjutkan jejak kaum pendahulu, pemimpin muda dengan kategori ideal wajib memiliki wawasan jangka panjang yang bersifat holistik. Pandangan sempit yang hanya berkutat pada target kuartalan atau likes media sosial tidak akan mampu menjawab tantangan global, seperti perubahan iklim, ketimpangan ekonomi, atau disinformasi digital. Dengan memproyeksikan skenario lima hingga sepuluh tahun ke depan, pemimpin muda bisa merancang program penguatan kapasitas anggota, kolaborasi antar-lintas komunitas, dan integrasi teknologi yang berkelanjutan. Visi ini harus dikomunikasikan secara persuasif agar seluruh anggota merasa memiliki saham dalam perjalanan panjang. Tanpa narasi masa depan yang memikat, semangat kolektif mudah padam ditelan rutinitas.

Strategi rasional berbasis data dan logika tentu akan melengkapi visi jangka panjang. Dalam era big data, pemimpin muda dituntut mampu menganalisis tren, menggali insight, dan membangun model prediktif untuk mengambil keputusan tepat. Namun data saja tidak cukup; ia harus diolah dengan kecerdasan emosional agar kebijakan yang dihasilkan tetap manusiawi. Karena jika algoritma diolah tanpa empati, kebijakan malah meminggirkan kelompok rentan atau menciptakan kesenjangan baru. Oleh karena itu, strategi rasional harus berpadu dengan nilai-nilai keadilan dan keberpihakan kepada yang membutuhkan.

Nah, untuk mewujudkan visi dan strategi tersebut, mobilisasi dukungan menjadi satu-satunya langkah krusial. Kepemimpinan Islam menekankan pentingnya membina hubungan baik dengan pusat kekuasaan---baik itu tokoh masyarakat, lembaga pemerintah, maupun pemimpin komunitas lain. Upaya ini bukan semata mencari simpati politik, melainkan memastikan keberlanjutan program dalam kerangka regulasi dan ekosistem sosial. Selain itu, pemimpin muda harus mampu memperoleh legitimasinya dari anggota lewat proses musyawarah yang transparan. Investasi kepercayaan ini akan meminimalkan resistensi dan memperkuat solidaritas saat menghadapi tantangan.

Terakhir, jiwa edukatif sebagai pelatih dan mentor menjadi pembeda bagi pemimpin sejati. Rasulullah pernah menekankan bahwa setiap pemimpin adalah pendidik bagi umatnya, membimbing mereka menuju kebaikan dan kebenaran. Anak muda, dengan akses luas ke platform digital, memiliki peluang emas untuk mentransformasi ilmu menjadi aksi nyata: webinar, modul daring, hingga program coaching yang terukur. Kemampuan menulis dan berbicara persuasif menjadi modal utama untuk membangkitkan kesadaran kolektif. Dengan demikian, kekuatan ilmu dan teknologi berpadu, menciptakan gerakan sosial yang tidak hanya viral, tetapi juga bermakna dan berkelanjutan.

Mengintegrasikan warisan kepemimpinan Islam ke dalam praktik anak muda bukanlah nostalgia kosong, melainkan strategi revolusioner. Karena disrupsi global menuntut kita menjadi pemimpin yang gesit, tetapi juga berkarakter, berintegritas, dan visioner. Siapkah kita meneguhkan fondasi moral, memanfaatkan teknologi, serta menegakkan keadilan dan Tawakkal? Masa depan generasi muda dan bangsa ini tergantung pada keberanian kita menjawab tantangan era disrupsi dengan kepemimpinan yang autentik dan transformatif. Tabik! Salam masyarakat baru.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun