The Leopard. The Predator of Miami. Itu adalah julukanku. Seperti julukanku, aku dikenal sebagai orang berdarah dingin. Wajar, seorang manusia yang dibesarkan oleh ayah yang kecanduan narkoba dan alkohol, dan figur ibu yang hilang tak berbekas. Ibu mati ditembak oleh seorang assassin disaat aku masih kecil. Disaat 5 saudaraku panik, menangis dan bingung dengan situasi tersebut, yang ada di benakku hanya gambaran assassin keren yang tiba-tiba datang itu.
Aku ingin menjadi keren seperti itu.
Sebilah pisau siap sedia, pistol yang terisi penuh dengan peluru, seragam hitam pekat untuk berbaur dengan gelap gulitanya malam hari betapa kerennya itu! Setelah tragedi itu, aku tertarik untuk menjadi assassin sejak dini. Saudara-saudaraku mengejekku dan mengira aku gila karena memilih karir yang mengerikan dan tidak akan memberi manfaat kepada keluarga yang hancur berantakan ini.
Tapi apa gunanya? Apa gunanya mengharumkan nama keluarga yang sudah busuk? Apa gunanya membersihkan kaca yang akan kembali kotor dalam hitungan detik? Apa gunanya bertarung untuk suatu kata tak bermakna di kartu identitas? Apa gunanya?
Tidak ada harapan untuk keluarga yang sudah hancur lebur ini. Banyak sudah saudaraku yang mulai menggila dengan hidup seperti ini. Ada yang sudah mengakhiri hidupnya secara paksa, baik itu dengan tangannya sendiri atau di tanganku. Aku tidak keberatan menjadikan mereka bahan eksperimenku. Sekarang aku bisa menjawab pertanyaan "work experience"Â di resume ku. Lagipula, semakin berkurangnya anggota keluarga, semakin banyak jatah makan yang aku dapat.
Hari demi hari aku berlatih hingga akhirnya aku menjadi Wolf yang semua orang rumorkan. Aku adalah alasan anak-anak kecil tidak diperbolehkan berkeliaran di malam hari. Aku adalah alasan orang-orang berhati-hati jika ingin keluar agar tidak menjadi target. Dan mereka pintar juga dengan strategi itu. Kadang aku membunuh seseorang karena aku ingin saja. Atau karena mood ku kurang baik. Jarang sekali aku mendapat misi tertentu untuk membunuh seseorang. Sama seperti leopard yang membunuh hewan lain untuk bersenang-senang, rutinitas ku mirip seperti itu.Â
Setelah sekian lama, perusahaan akhirnya mengirimkan misi baru. The Nightingale of Miami.Â
The Nightingale of Miami adalah julukannya yang paling terkenal. Bisa dipahami mengapa. Artis tersebut sudah dilatih sejak kecil untuk menjadi penyanyi terkenal nasional maupun internasional. Dilempar sana-sini untuk menjadi bintang aktris berbagai perusahaan. Bintang iklan ini dan bintang iklan itu. Dilempar lagi sana-sini seperti bola basket yang dioperkan dari satu orang ke orang lainnya. Hidup sepertinya pasti menyenangkan. Hidup layak putri yang anggun dengan suara malaikat. Sayang sekali dia harus mengakhiri karirnya disini.
Seperti biasanya, aku melompati pagar berkawat, melewati CCTV, mengecoh para penjaga gedung, memanjat dinding dan membuka jendela kamar dengan suara seminim mungkin. Ini adalah misi yang lumayan mudah bagi profesional sepertiku. Yaa, tentu pertahananya sedikit lebih ketat karena dia seorang artis tapi tetap saja, aku menemukan celah yang bisa kulewati.Â
Aku melangkahkan kaki secara perlahan ke arah kasur target. Aku melangkah dengan amat perlahan dan meminimalisir suara yang kuperbuat. Tapi sia-sia. Si target terbangun tiba-tiba.
"ASSASSIN!!" Teriaknya.
Aku tidak buang-buang waktu menutup mulutnya dan menodongkan pisau ke arahnya. "Diam atau hidupmu berakhir disini, princess."Â
Dia mengangguk pasrah.Â
"Pintar. Aku jadi bosan jika misinya berakhir secepat ini. Bagaimana kalau kamu bercerita padaku? Apapun itu, terserah. Pokoknya, jangan buat aku bosan. Jika aku bosan, maka berakhirlah nyawamu. Oke?" Dia mengangguk cepat dan aku melepaskan tanganku dari mulutnya.
Gadis itu pun mulai bercerita tentang seekor macan yang membiarkan mangsanya, seekor burung, pergi dan hidup bebas. Cerita fabel anak-anak yang biasanya diceritakan ibu sebelum tidur. Cerita fabel dengan moral tersirat. Cerita fabel yang dianggap seru bagi anak-anak kecil namun payah di mataku.
"Kau pikir aku anak umur 5 tahun? Aku tidak perlu cerita moral yang payah seperti ini tau! Ah, kau membuatku tambah bosan! 5 menit terbuang sia-sia. Kau tau konsekuensinya jika aku sudah bosan kan?"Â
"Tunggu, tunggu!" Gadis itu mulai panik dan menggunakan buku terdekat sebagai perisai. Bocah bodoh, buku tidak akan menghentikanku tau. Aku menepis buku itu dari tangannya.
"Tolong jangan lakukan ini." Pintanya. "Kau masih punya waktu, waktu untuk introspeksi diri agar menjadi lebih baik."
"Aku tahu aku punya waktu, tapi apakah aku akan melakukan introspeksi yang membosankan itu? Tentu saja tidak! Aku benci bosan."
"B-bagaimana jika aku menjadi temanmu? Rekanmu? Sesama assassin?? Aku akan menjadi anggota tim yang baik!"
"Bodoh. Tuan putri sepertimu mana bisa bertarung? Kau hanya akan memperlambat progres saja. Sekarang bagaimana jika kamu diam dan serahkan nyawamu kepadaku."
"KENAPA SELALU AKU YANG DIMINTA MELAKUKAN INI-ITU! AKKHH AKU KESAL!!" Gadis itu melempar vas di sebelahnya ke arahku. Untung saja aku bisa mengelak.
"Aku capeek...." rengeknya sembari merobek-robek kain terdekatnya.Â
"Aku benci diminta ini-itu! Aku benciii!! Aku ingin keluar dari penjara ini! Aku ingin lepas dari karir ini! Selamanya? Selamanya! Bagaimana jika aku mati saja? Ah jangan, gelap di bawah sana. Bagaimana jika aku menghilang? Ah iya, aku akan melakukan itu. Aku akan bersembunyi dan tidak ada yang bisa menemukanku. Ahhh, betapa enaknya hidup seperti itu. Terlepas dari pusingnya masalah dunia. Terlepas dari permintaan bos yang diluar kemampuanku. Terlepas dari kewajiban dan ekspektasi. Ahh, kehidupan seperti itu pasti terasa seperti surga."
Aku terdiam mendengar ocehan gila gadis itu. Sepertinya ia sedang stress berat. Padahal aku hanya menyentaknya sekali dengan kalimat perintah yang simpel. Tutup mulutnya dan serahkan nyawanya. Tapi dia malah panik, stress dan melempar bantal dan barang-barang di kamarnya dengan penuh kesal dan amarah. Aku tidak tahu kehidupan seorang artis bisa sekacau ini. Aku harus mengendalikannya sebelum ada yang curiga.
"DIAM KAU ORANG GILA!" Perintahku sembari melempar bantal ke kepalanya. "TENANGKAN DIRIMU!"
Gadis itu menarik nafas panjang sebelum memegang erat lengan tanganku. "Aku mohon, bawa aku keluar dari sini. Apapun selain mati dan melanjutkan sisa hidupku di neraka ini. Jadikan aku budakmu, jadikan aku apapun yang kau mau. Apapun itu. Aku sudah muak disini. Aku sudah muak dengan hal bernama "seni" itu. Larikan aku dari sini. Tolong, kumohon."
Aku melihat matanya berlinang air mata dan kepalan tangannya yang masih bergetar. Di tengah kekacauan yang telah diperbuat, ia merobek sebagian kain gaun tidurnya, menunjukkan bekas kekerasan yang ia alami. Aku tahu bekas-bekas peperangan itu. Ini bukanlah perang yang gampang untuk dimenangkan. Lebih mudah menyerah di tengah jalan dan pasrah, tetapi memperjuangkan harga diri itu tetaplah sesuatu yang harus dilakukan. Tanpa berpikir panjang, aku menarik tangan gadis itu ke arah jendela.
"Aku akan mengantarkanmu ke rumah saudaraku. kau bisa menginap disana sebentar. Jangan harap aku akan berkunjung dengan niat persahabatan. Aku hanya menuruti ini karena respect ku dengan perjuanganmu."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI