Dengan keraguan yang berguncang di hatinya, Rara memasuki halaman rumah tua itu. Bangunannya masih tetap sama seperti yang Rara lihat dulu. Tiba-tiba, seorang anak kecil yang baru belajar jalan muncul dari balik pintu, seorang lelaki mengejarnya, takut kalau pangeran kecilnya jatuh.
Betapa terkejutnya Rara melihat siapa yang di depannya. Lelaki itu sama kagetnya, dan mata mereka bertemu beberapa waktu. Tak ada yang berani menyapa, maupun mengucap salam. Mendadak, suasana menjadi hening, matahari pagi serasa membakar kulit mereka, mata Rara mendadak memanas. Buru-buru dia memalingkan wajahnya dan menyembunyikan matanya yang mulai berkaca-kaca. Betapa mudah wanita ini menangis.
“Lho, Rara, kapan datang?” ibu yang baru saja memasuki halaman langsung memeluk Rara. Ibu mengajak Rara masuk dan menyambutnya bak puteri sendiri.
“Ra, Kamu istirahat dulu ya, kamar yang dulu Kamu tempati selalu ibu rawat. Soalnya ibu tahu kamu akan datang lagi. Kamu istirahat dulu ya.” ibu mengantar Rara ke kamarnya, dan seorang lelaki yang menggendong anaknya mengikuti mereka. Ibu meninggalkan Rara dan membiarkan tamunya istirahat. Sedangkan Ryan hanya mematung di pintu kamar Rara.
Seolah tak ada orang, Rara menutup pintu kamarnya, di dalam, dirinya menangis. Hatinya teriris. Pupus sudah. Tak ada yang bisa dia harapkan dengan datang ke sini.
“Ra, makan malam dulu, Nak.” Panggil ibu dari dapur.
“Iya, Bu. Sebentar lagi ya.” suaranya parau. Ryan yang mendengar tahu betul keadaan Rara saat ini. Seharian Rara mengurung diri di kamar, tak keluar barang sebentar. Tanpa menunggu lama lagi, Ryan beranjak membuka pintu kamar Rara.
Benar yang ditafsirkannya. Rara duduk di ujung tempat tidur, dengan mata sembap. Air matanya nampak kering. Melihat kedatangan Ryan, Rara langsung bangkit dan hendak menutup pintu.
“Ra, tunggu dulu, aku ingin kita bicara. Kamu tenang ya!”
“Saya ingin kenalan sama istri Bapak.” ucap Rara kemudian. Wajahnya tertunduk.
Pak Ryan mengajak Rara keluar dan menemui anaknya.