Mohon tunggu...
Bee Qolbi
Bee Qolbi Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Universitas Negeri Malang dan santri PPTQ Nurul Furqon

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mahar Kebohongan

13 Februari 2017   22:02 Diperbarui: 13 Februari 2017   22:08 507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Lho, ini calonnya Ryan? Apa jangan-jangan ini sekalian acara tunangan?” tanya seorang wanita paruh baya seusia ibu. Rara hanya tersenyum dan memendamkan wajahnya. Pipinya memerah, anak gadis mana yang tak malu ketika ditanya seperti itu. Diam-diam Rara memandang wajah guru mudanya yang sama-sama terlihat canggung.

Tak terasa dua bulan sudah Rara berdiam diri di rumah masa kecil Pak Ryan. Setelah menuntaskan babak akhir cerita masa kecil Pak Ryan, Rara diajak menelusuri masa kuliah gurunya. Dibawanya Rara ke tempat kos yang dulu ditempati Pak Ryan di Surabaya semasa kuliah.

Rara dan Pak Ryan melanjutkan misi mereka. Siang hari sampai sore mereka menjelajahi kampus dengan sepeda ontel yang dipinjam Pak Ryan dari ibu kosnya. Siang hari mereka juga menyempatkan diri bermain di tempat kos, melihat atmosfer tempat kos seorang pengusaha.

“Kringg….Kring…Kring…hp Rara berdering ketika mereka sedang makan malam di sebuah restoran karena besok mereka akan kembali ke Malang. “Halo.” Rara mengangkat telpon genggamnya.

“APA???” pekik Rara setelah mendengar kabar yang ia dengar di telepon. “Iya, saya akan terbang besok pagi. Secepatnya.” tangis Rara pecah. Dia bersandar lemah di kursi restoran,

“Ada apa, Ra? Siapa yang barusan menelfon kamu?” tanya Pak Ryan khawatir.

“Saya harus ke Jakarta besok. Ayah saya sakit di sana.”

Semalaman Pak Ryan menemani Rara di kamarnya. Mereka gagal mendapatkan tiket pesawat yang berangkat malam itu. Mereka harus menunggu esok pagi jam 7. Rara hanya diam dan menangis. Pak Ryan hanya memandangi Rara dengan iba. Andai dia bisa memeluknya, pasti akan ia lakukan.

Malam itu, Rara menangis sambil memandagi jalanan kota Surabaya yang sedang ramai. Sebenarnya, pandangannnya kosong, khayalannya melambung jauh entah kemana. Bahkan, dia tidak memedulikan lelaki yang sedang duduk di sampingnya sambil memandang penuh belas kasih kepadanya. Tanpa menunggu lama lagi, Pak Ryan bangkit. Mengajak Rara ke balkon. Tanpa sadar, Rara langsung menjatuhkan pelukannya pada gurunya. Dalam waktu yang cukup lama, Rara menangis dalam pelukan Pak Ryan. Sebagai guru yang sudah menelan asam garam kehidupan, Pak Ryan memberi Rara wejangan dan motivasi untuk tidak menyalahkan diri sendiri.

Pagi buta, mereka sudah berada di Bandara Juanda. Semenjak berangkat, Pak Ryan terus menggandeng Rara. “Ra, berapa harga yang Kamu inginkan untuk misi kita ini? Saya akan bayar berapapun itu, karena kerja keras dan pengorbanan Kamu.” tanya Pak Ryan pelan. Rara menoleh dan tersenyum.

“Tak ada yang perlu dibayar, Pak. Tak ada harga yang pantas diminta murid kepada gurunya.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun