Azis Maloko
Bulan Ramadhan merupakan bulan yang sangat dinanti-rindukan oleh umat Islam sejagat dunia. Bukan saja karena ia merupakan bagian dari rukun Islam, akan tetapi juga karena bulan Ramadhan sendiri memiliki keutamaan khusus bila dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya dalam perhitungan kalender hijriah. Bahkan bulan Ramadhan memiliki keutamaan khusus di mata umat Islam itu sendiri. Hal demikian terbilang lumrah saja oleh sebab bulan Ramadhan merupakan bulan yang mulia dan di dalamnya terdapat banyak kemuliaan. Di dalamnya banyak kebaikan tumbuh bermekaran bak di musim hujan. Sehingga, bulan ramadhan bisa diandaikan sebagai persemian dan tranformasi pelbagai kebaikan.
Keutamaan dan kemuliaan bulan Ramadhan bukan saja berdimensikan spiritualitas an sich, akan tetapi juga berdimensikan kehidupan sosiologis. Dengan kata lain, bulan Ramadhan tidak hanya melulu berbicara tentang kesalehan individual dengan Allah SWT. semata, akan tetapi juga tentang kesalehan sosial dengan sesama umat manusia. Bahkan kedua aspek kesalehan tersebut cukup nampak mewarnai semesta (bulan) Ramadhan. Laiknya dua sisi mata uang, keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Setidaknya hal demikian terpahami secara sepintas dari teks bahasa agama dan konteks beramadhan masyarakat muslim pada umumnya dan Indonesia secara khusus tentunya.
Etos Sosial Puasa
Jika mencermati keseluruhan bangunan ajaran (agama) Islam, maka akan ditemukan bahwa Islam _melalui berbagai ajarannya_ begitu menekankan aspek (kehidupan) sosial umat manusia. Secara garis besar, ajaran Islam terdiri dari tiga aspek, yaitu: 1) apsek akidah (ahkam al-i'tiqadiyah); 2) aspek syari'ah (ahkam asy-syar'iyah); dan 3) aspek akhlak (ahkam al-khuluqiyah). Ketika aspek ajaran Islam ini bersifat integrated, saling terkait antara satu dengan lainnya, tidak dapat dipisahkan antar satu dengan lainnya. Ketiganya menggambarkan ruang lingkup dan jangkauan ajaran Islam. Jika ketika bersenyawa dalam diri seorang muslim, maka akan terbentuk karakter sebagai seorang muslim kaffah.
Pada aspek syari'ah, ajaran Islam terbagi lagi dalam beberapa horizon, mulai dari aspek ibadah dan muamalah. Aspek ibadah berkaitan erat dengan hubungan kesalehan individual vertikal transendental antara seorang hamba dengan Tuhan-Nya. Sementara aspek muamalah berkaitan dengan hubungan kesalehan sosial horizontal antara seorang hamba dengan hamba lainnya. Pada aspek syari'ah (plus aspek akhlak) ini pula kita menemukan etos sosial ajaran Islam itu. Di situ pelbagai lalu lintas kehidupan sosial umat Islam (bahkan dengan umat beragama lain dan termasuk dengan lingkungan sekitar) diatur sedemikian rupa. Tidak hanya berdiri sendiri, etos sosial juga dikaitkan secara langsung dengan iman bahkan aktivitas ibadah mahdho.
Salah satu ajaran Islam yang berdimensikan kesalehan sosial adalah ibadah puasa (Ramadhan). Meskipun ibadah puasa lebih bersifat "private" antara seorang hamba dengan Allah SWT. Karena, syariat puasa merupakan domain ibadah mahdah, sebuah jenis ibadah yang berkaitan dengan kesalehan individual vertikal transendental seorang hamba dengan Tuhan-Nya. Namun, dalam prakteknya ibadah puasa dirayakan dan atau dimeriahkan dengan berbagai "amalan sosial". Bahkan terdapat diktum teks bahasa agama yang secara khusus menekankan pentingnya amalan sosial dalam merayakan dan melaksanakan puasa. Misalnya, anjuran agama untuk memberikan takjil (menu buka puasa) bagi orang-orang yang tengah puasa.
Tidak heran kemudian jika bulan puasa diandaikan sebagai bulan persemian dan transformasi pelbagai ragam kebaikan, khususnya yang bertalian dengan amalan sosial. Interaksi dan komunikasi antar personal maupun kelompok ditemukan di mana-mana. Gerakan donasi dan sedekah takjil besar-besaran dilakukan pada hampir setiap wilayah. Semua orang berlomba-lomba untuk membagi kebahagiaan kepada orang-orang yang berpuasa dan secara khusus fakir miskin dan dhuafa. Ajaibnya, bukan saja orang-orang yang selama ini terkenal dermawan yang ikut serta mengambil bagian dalam gerakan kebaikan, akan tetapi juga bagi mereka-mereka anti dan atau jarang terlibat dalam kepekaan dan kepedulian sosial sekalipun.
Selain itu, jika menyelami hakikat ibadah puasa akan nampak terlihat aspek-aspek sosiologis yang terkandung di dalamnya. Di mana puasa selalu diartikan dengan term imsak; menahan dan mengendalikan diri dari melakukan hal-hal yang dapat membatalkan ibadah puasa terhitung semenjak imsak (itu sendiri) hingga tiba waktunya ifthar (berbuka). Olehnya, imsak menjadi rukun penting lagi elementer dalam ibadah puasa. Semua orang yang berpuasa pasti akan melakukan dan merasakan imsak. Sia-sia rasanya ibadah puasa jika tidak ada imsak di dalamnya. Sebab, untuk apa niat dan makan sahur dalam setiap hari di bulan Ramadhan jika setelahnya tidak ada dan atau tidak bisa imsak.
Wujud imsak dalam puasa terbilang cukup banyak di antaranya adalah tidak makan dan minum (imsak perut) dan tidak berhubungan seks hatta dengan istri sekalipun, apalagi "seks haram" dengan pacar atau selingkuhan (imsak bawah perut or kemaluan). Untuk menyempurnakan kedua bentuk imsak tersebut dianjurkan pula untuk melakukan imsak fisik dan non fisik. Tentunya bersama dengan itu, harus dimaksimalkan aktivitas ibadah; shalat, membaca al-Qur'an, zikir, berdoa dan lainnya. Tidak elok rasanya jika imsak tidak disertai dengan ketekunan melaksanakan ibadah dan meminimalisir pelbagai larangan yang berpotensi mendegradasi kualitas puasa atau membatalkan puasa.
Dalam konteks demikian, orang-orang yang tengah berpuasa benar-benar merasakan "penderitaan" akan rasa lapar dan dahaga, hatta dari kalangan orang kaya sekalipun. Orang kaya akan merasakan sesuatu yang berbeda ketika menjalankan ibadah puasa. Setidaknya terkait kelazimannya dalam makan setiap hari yang diatur dengan sedemikian rupa, mulai dari menunya hingga timenya. Sehingga, meski waktunya terbilang relatif singkat, dari imsak hingga ifthar, kira-kira tiga belas jam lamanya setiap hari selama satu bulan penuh, namun puasa benar-benar memberikan edukasi sekaligus "kritik" sosial bagi setiap orang yang tengah berpuasa dan atau hanya sekedar mengamati, khususnya dari kalangan orang kaya.
Di antara edukasi dan kritik ssosial dimaksud adalah rasa lapar dan dahaga saat berpuasa belum seberapa bila dibandingkan dengan rasa lapar dan dahaga yang dialami oleh orang-orang di luar sana dari kalangan fakir miskin dan dhuafa. Di mana banyak di antara mereka kadang tidak makan seharian, dua hari bahkan berhari-hari malahan. Kalau pun makan minum, mereka harus bersusah payah berkelahi dengan waktu dan suasana semesta (siang malam). Itu pun kadang tidak begitu menjanjikan bagi kebutuhan hidup mereka. Mereka hidup di atas puing-puing penderitaan, sementara orang kaya asyik dengan kehidupannya. Seolah-olah mereka tuli, buta dan lumpuh dengan fakta-fakta penderitaan di sekitarnya.
Setidaknya ada beberapa etos sosial yang bisa digali langsung dari "mata air" puasa (Ramadhan). Pertama; soal kesadaran sosial. Dengan adanya rasa lapar dan dahaga, semestinya menumbuhkan kesadaran sosial bagi semua kalangan, khususnya kalangan borjuis dan elitis umat Islam. Karena orang yang berpuasa sudah begitu merasakan bagaimana rasanya menahan lapar dan dahaga. Bahwa kondisi tidak makan semenjak imsak hingga ifthar terbilang sesuatu yang berat. Meskipun demikian, kesadaran sosial merupakan level terendah dalam membangun etos sosial. Apalagi kalau kesadaran sosial yang dimaksud baru sampai pada level kesadaran magic dan naif, tidak sampai pada "kesadaran kritis".
Sebab, kesadaran magic dan kesadaran naif merupakan kesadaran yang masih terbilang rendah dan determinan sebagaimana sabda seorang Paulo Freire. Tidak mengapa jika kesadaran sosial baru sampai pada level demikian, dari pada tidak ada sama sekali kesadaran ketika melihat dan menyaksikan siklus penderitaan kehidupan kalangan fakir miskin dan dhuafa. Bisa-bisa saja jiwa manusia semacam itu telah "mati" atau meminjam istilah Sigmund Freud disebut-kenal dengan "jiwa tidak sadar". Tidak sadar dan atau mati karena tidak bisa merasakan penderitaan fakir miskin dan dhuafa. Tentuny cukup ironis manakala telah hilang dan mati kesadaran dalam semesta jiwa dalam melihat penderitaan fakir miskin dan dhuafa.
Kedua; kepekaan, kesetiakawanan dan kepedulian sosial. Pada etos sosial ini terjadi peningkatan kurva etos sosial dalam melihat dan menyikapi realitas kehidupan. Puasa tidak hanya sekedar menumbuh-suburkan kesadaran bagi setiap orang, khususnya dari kalangan orang kaya. Tetapi juga menumbuhkan kepekaan, kesetiakawanan dan kepedulian sosial. Dengan puasa, orang-orang semakin peka (sensitif) dengan kehidupan fakir miskin dan dhuafa di kiri dan kanannya. Bahkan kepekaan bergerak terus menjadi sebuah gerakan kesetiakawanan dan kepedulian sosial. Bahwa tidak cukup rasanya hanya sekedar sadar, simpati dan peka dengan kehidupan fakir miskin dan dhuafa, tetapi harus juga ada kepedulian sosial di sana.
Maka di sana ditemukan pula semarak gerakan sedekah dan donasi berbagi kebahagiaan untuk banyak orang, baik bagi orang yang tengah puasa maupun secara khusus lagi bagi fakir miskin dan dhuafa. Bentuk kepedulian sosial ini cukup variatif, kreatif dan inovatif. Ada dalam bentuk menyediakan menu ifthar. Ada pula dalam bentuk penyediaan paket sedekah untuk fakir miskin dan dhuafa. Tentu selain zakat yang notabene menjadi bagian penting dalam kerja-kerja kepedulian sosial, karena di sana distribusi keadilan ekonomi tercipta dan terbangun. Pada konteks ini pula bermunculan pelbagai lembaga, resmi maupun belum resmi, mengambil bagian untuk melakukan kerja-kerja kepedulian sosial.
Sayangnya, pengalaman spiritual ibadah puasa semacam ini belum sepenuhnya menjiwai kehidupan umat Islam secara umumnya. Bahkan di luar sana banyak juga orang yang memiliki pengalaman sosial-historis yang nyaris sama dengan pengalama spiritual ibadah puasa, namun kondisinya tetap sama, tidak melahirkan etos sosial yang sangat berarti dalam hidupnya. Tidak hanya di luar bulan Ramadhan, akan tetapi nyaris juga di dalam bulan suci Ramadhan. Tipologi orang-orang semacam ini pada sesungguhnya gagal mengambil ibrah dan i'tibar dalam pelbagai rangkaian pengalaman hidup yang dilakoni dan dilalui dalam hidup. Sehingga, tidak ada sama sekali kesadaran, kepekaan dan kepedulian sosial antar sesama.
Refleksi Nalar Iman
Etos sosial (dalam) puasa merupakan refleksi aplikatif dari nalar iman itu sendiri. Sebagaimana sebuah ungkapan yang cukup familiar bahwa semakin tinggi dan baik kualitas iman (seseorang), maka akan semakin baik pula relasi dan etos sosialnya. Karena itu, tidak salah kemudian Nabi Muhammad SAW. dengan tegas mengatakan bahwa seseorang tidak akan dikatakan (benar-benar) beriman (dengan iman yang sempurna) sampai benar-benar mencintai (sesuatu untuk) saudaranya sebagaimana mencintai (sesuatu untuk) dirinya, l yu'minu ahadukum hatt yuhibbu li akhhi m yuhibbu li nafsihi. Hadis ini berbicara dan menekankan aspek relasi antara nalar iman dan nalar kesalehan sosial dalam Islam.
Dengan kata lain, jika seseorang mencintai kebaikan untuk dirinya, maka harus juga mencintainya untuk saudaranya juga. Wujudnya bisa dalam bentuk dakwah atau hanya sekedar tegur sapa, memberikan nasihat, wejangan dan petuah. Pun begitu halnya jika seseorang mencintai kehidupan yang baik bagi dirinya, maka harus pula menginginkan hal itu dirasakan juga oleh saudaranya. Wujudnya bisa dalam bentuk tolong menolong, saling membantu meringankan kehidupan dan lainnya. Jika seseorang hanya merasa sesuatu itu cukup untuk dirinya saja tanpa ingin berbagi misalnya, maka oleh Nabi saw. hal demikian bisa menegasikan eksistensi iman dan keberimanan bagi seseorang.
Pada konteks itulah kedudukan strategis etos sosial sebagai refleksi aplikatif dari nalar (keber)iman(an) seseorang. Iman tidak sekedar keyakinan dibalik altar dan spektrum hati atau hanya berkutat pada persoalan hati saja. Akan tetapi, iman juga berbicara dalam konteks amal perbuatan. Hal demikian masyhur dalam qual banyak ulama, di antaranya al-Imam asy-Syafi'i, bahwa al-tasdiq bi al-qalb wa al-iqrar bi al-lisan wa al-amal bi al-jawarih. Artinya, iman tidak melulu hanya urusan hati semata. Apalagi kalau diandaikan iman tidak ada sangkut pautnya dengan yang namanya amal perbuatan manusia, baik perkataan maupun perbuatan. Akan tetapi, iman berkaitan erat dengan kesalehan individual dan kesalehan sosial.
Hal demikian perlu ditegaskan agar supaya tidak ada lagi pandangan dikotomis terkait nalar iman, kesalehan individual dan kesalehan sosial. Karena banyak pengandaian bahkan sampai pada level framing destruktif negatif terhadap image dan citra Islam, bahwa seolah-olah Islam itu hanya agama yang mengurus soal iman dan kesalehan individual tanpa sedikitpun menyentuh hal ihwal yang bertalian dengan kesalehan sosial. Pengandaian nir reference dan nalar semacam ini nyaris ditemukan di mana-mana, hatta oleh mereka-mereka yang dikatakan sebagai kaum yang "tercerahkan" Padahal Islam adalah agama (untuk) dunia akhirat; agama untuk individu dan masyarakat; bahkan agama untuk pembangunan peradaban suatu bangsa.
Ketika membaca teks bahasa agama tentang kewajiban puasa di antaranya ditemukan bahwa puasa (dalam Islam) hanya diperintahkan kepada orang-orang beriman (QS al-Baqarah/2:183), baik orang beriman yang kuat imannya maupun lemah sama sekali. Olehnya, ditemukan banyak sekali hadis-hadis dan juga qaul ulama yang menjelaskan hubungan iman dan amalan (dalam) puasa Ramadhan. Di antaranya salah satu hadis yang cukup familiar yang mengatakan bahwa barang siapa berpuasa ramadhan karena di sana ada iman dan mengharapkan pahala niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, man shma ramadhna imnan wahtisaban ghufiro lahu m taqoddama min dzanbih (HR Bukhari).
Bahkan di antara syarat penting bagi seseorang untuk bisa mengikuti madrasah ramadhan selama satu bulan dengan ibadah puasa sebagai kurikulum utamanya adalah Islam, selain taklif (baligh dan berakal), mampu, sehat dan mukim sebagaimana masyhur dalam kitab-kitab fikih, yakni syurtu wujbihi khamsah, Islm, taklf, ithqah, shihhah wa iqmah. Tentunya, syarat Islam dimaksud bukan hanya mengakui diri sebagai orang Islam karena telah bersyahadat dan atau lahir dan hidup dalam lingkungan orang-orang Islam. Akan tetapi, di sana terdapat juga konsekuensi-konsekuensi lainnya dari keberislaman. Di antaranya adalah memiliki nalar iman dan ihsan yang juga merupakan bagian dari maratibul Islam itu sendiri.
Dengan demikian, basis fundament ibadah puasa adalah nalar iman. Begitu pula etos sosial yang tumbuh kembang dalam cosmology puasa Ramadhan pun memiliki basis fundamentnya adalah nalar iman. Artinya , selain karena "keajaiban" dan "magnet" puasa Ramadhan, etos sosial yang dilakukan oleh seorang hamba dalam bulan suci Ramadhan merupakan refleksi aplikatif dari nalar iman. Misalnya, fenomena yang terlihat bahwa dengan puasa seseorang semakin semangat berbagi bukan semata karena ada kesadaran, kepekaan, kesetiakawanan dan kepedulian sosial bagi orang-orang yang tengah berpuasa wabilkhusus fakir miskin dan dhuafa, tetapi juga karena ada nalar iman yang bekerja dan beroperasi di sana.
Nalar iman demikianlah yang membuat amalan sosial dan atau etos sosial bekerja secara otentik. Orang membagi kebahagiaan melalui sedekah ini dan itu bukan karena ada apanya yang hendak diperoleh dari kalangan manusia, berupa pujian, tepuk tangan, reputasi dan popularitas. Akan tetapi semata karena Allah. Sehingga, tidak ada sama sekali tendensi lain di sana. Mereka terus berbagi kebahagiaan hatta tidak ada orang melihat, meliput, memuja dan memujinya. Karena bukan itu yang diharapkan dari etos sosialnya. Pun bukan itu yang diinginkan oleh nalar iman seseorang ketika membangun etos sosial. Tentunya nalar iman yang dimaksud adalah nalar iman yang pro pada nilai-nilai kemanusiaan.
Maka, jangan pernah mengatakan beriman manakala kita kenyang, sementara tetangga kesulitan makan minum dan kelaparan. Jangan mengaku beriman jika kita hidup aman dan nyaman, sementara tetangga bocor atap rumahnya, kebanjiran, tidur bersama hujan angin, tidur di bawah kolom jembatan, tol dan pinggir jalan maupun tempat-tempat sampah dan kumuh. Jangan mengaku beriman manakala kita selalu tertawa karena selalu merasa senang dan bahagia dengan berbagai kemegahan dan kemewahan dunia yang melimpah ruah, sementara tetangga kita malah hidup dalam puing-puing penderitaan. Jangan pula mengaku beriman manakala lisan fasih berkhutbah tentang kebaikan, sementara jiwa pelit dan kikir.
Sebab, tidak ada orang beriman yang berkarakter dan berperilaku demikian. Orang beriman tidak anti sosial; tidak zalim, serakah, tidak rakus, dan tidak pelit. Orang beriman adalah orang yang begitu peduli dengan kehidupan saudaranya, tetangga maupun lingkungan sekitar. Orang beriman adalah orang yang gemar membagi, menolong sesama. Orang beriman adalah orang yang imsak dari sikap kikir dan pelit serta bersegera "ifhtar" (membuka) berbagai jalan kebaikan untuk saudaranya. Karena orang beriman sangat menyadari hak-hak saudaranya. Bahkan orang beriman memiliki kesadaran eskatologis yang baik sehingga membuatnya selalu melakukan berbagai amalan sebagai investasi akhiratnya.
Teruslah menyempurnakan iman dengan kesalehan individual dan sosial. Karena puasa bukan semata soal kesalehan individual, tetapi juga soal kesalehan sosial yang ditandai dengan adanya kesadaran, kepekaan dan kepedulian sosial terhadap sesama anak manusia, khususnya terhadap mereka-mereka yang tergolong sebagai fakir miskin dan dhuafa. Ketika nalar iman melahirkan kesalehan individual dan kesalehan sosial, maka akan melahirkan karakter muslim kaffah bagi seseorang, sekaligus bersamaan dengan itu akan membangun tatanan kehidupan sekitar yang egaliter, adil, makmur dan sejahtera untuk semesta manusia, sekaligus menekan dan meminimalisir pelbagai patologis sosial.
Wallahu A'lam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI