Dan jika itu benar, saya pun ingin berdoa yang sama.
Tapi tentu saja setelah doa itu selesai, saya akan kembali ke dunia nyata. Tempat di mana mencintai butuh usaha, kerja sama, konflik yang sehat, dan kadang juga kompromi yang menyakitkan. Tempat di mana kita tidak cukup mencintai dengan sederhana, kita harus mencintai dengan segalanya dan sepenuhnya.
Sapardi menulis cinta dalam tiga bait, namun hidup menuliskannya dalam ribuan hari dan itu tidak selalu indah. Tidak selalu puitis, tidak selalu layak dikutip di undangan nikah. Tapi justru di situlah cinta yang sejati tinggal. Di balik kalimat yang tak jadi dikirim, di antara hal hal yang diperdebatkan bersama, di rasa lelah namun tetap memilih percaya.
Saya mencintai puisi itu. Tapi saya tidak percaya pada kesederhanaannya. Â Sebagai karya sastra, puisi ini tetap menyala. Ia menginspirasi, menyentuh, dan tak pernah gagal membuat dada terasa hangat. Tapi sebagai gambaran cinta sejati, ia hanya menampilkan satu sisi. Sisi yang indah, namun bukan utuh.
Karena cinta, Pak Sapardi, bukan hanya tentang ingin. Ia juga tentang berani, tentang tahan, tentang ikhlas, juga pulih. Dan semua itu, tidak pernah sederhana.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI