Dua hari lalu, ketika saya berkunjung ke rumah Bapak, saya merasa pilu.
Ibu bercerita, Bapak seringkali mengigau, menangis sendiri, bahkan yang paling membuat batin saya teriris adalah ketika Bapak sempat menyampaikan ingin bunuh diri.
Sudah empat tahun lamanya, Bapak sudah tidak bisa bekerja. Pandemi menutup usaha Om Nir, adik Bapak yang menawarkan jasa antar-jemput anak di sebuah sekolah, dan kesehatan Bapak berangsur-angsur memburuk. Tidak kuat berdiri lama. Ibuklah yang kemudian menggantikan Bapak bekerja. Saya jadi mengerti betul, Bapak mungkin punya perasaan: merasa bahwa kehidupan manusia seperti dirinya tidak lagi memiliki makna. Hanya dikarenakan tidak berguna, tidak produktif, tidak lagi menghasilkan, maka saya kira itu adalah sebuah hal yang wajar dirasakan setiap manusia yang sudah tidak di masa produktif lagi kata orang-orang. Tapi, tunggu dulu, pikiran ini agaknya kurang tepat.
Semenjak modernisme dalam pemikiran barat kemudian digadang sebagai gerakan modernisasi yang disebut sebagai: Perubahan besar-besaran dalam setiap elemen sosial-budaya, juga dalam hal ini ada andil besar bagaimana materialisme yang mendasari bagaimana dunia berjalan, menjadikan manusia semakin bergantung pada angka-angka. Kondisi tersebut memang telah dikondisikan sedemikian rupa, sehingga manusia hanya menerjemahkan sesuatu dengan angka. Dengan ukuran. Dengan pola, dengan struktur.
saya ingat sebuah penggalan cerita dari novel Le Petit Prince karya Antoine de Saint-Exupry, menggambarkan bagaimana manusia jaman modern memandang bagus tidak suatu hal. Tolak ukurnya adalah angka. Di satu cerita, digambarkan bila manusia dewasa  menceritakan ke orang lain, bagaimana sebuah rumah bagus atau tidak, Orang-orang modern tidak akan mengerti bila kata-katanya kira-kira semacam ini : saya punya rumah dengan taman dan bunga-bunga di halamannya.
Orang modern hanya mengerti bila dikatakan pada mereka ucapan semacam iniÂ
"saya punya rumah seharga 5M"
Barulah orang-orang  akan mengukur nilai 5M sebagai tolak ukur rumah bagus, lalu mereka akan berkata : "wah pasti rumahmu itu bagus ya"
Fenomena inilah yang kita hadapi di hari ini. Ukuran kemajuan, kemakmuran, kebahagiaan, dihitung dengan angka-angka.
Kita sudah tidak asing dengan PDB sebagai nilai pasar semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu menjadi tolak ukur. PDB salah satu metode untuk menghitung pendapatan nasional dari sisi angka-angka, sedemikian rupa menjadi  patokan sebuah negara punya kemajuan.
Kekeringan ini terasa semakin menjadi-jadi, sebab manusia kemudian juga diperlakukan layaknya barang, dihitung, diukur berdasarkan angka-angka; seberapa besar angka-angka IPK dalam selembar kertas, besarnya pendapatan dalam slip gaji, seberapa besar rekening dalam tabungan, seberapa banyak aset-aset materi; rumah-tanah, kendaraan dan nilai-nilai investasinya.
Tanpa kejelasan tujuan bernama kemajuan, semua itu dihadapkan pada kita: masyarakat negara dunia ketiga, yang serba harus mengikuti standar-standar demikian, inilah realitanya dalam pemaksaan atas modernisasi,
Teknologi menginvasi, infrastruktur dikebut supaya mendatangkan investasi, katanya: demi kemajuan negara; kemakmuran rakyat; demi kemakmuran dan kebahagiaan manusia.
Kehidupan masyarakat agraris pun berubah, Sawah-sawah, ladang, dijual pada pengembang, Â diuruk dan dijadikan properti dengan nilai jual tinggi. Hutan dibabat, minyak dikuras, nikel, batubara, semua dihabisi untuk keperluan produksi-produksi, sebagai sumber energi.
Industrialisasi yang dipaksakan pada manusia-manusia dunia ketiga memberikan problematika yang nyata kita alami: bekerja keras hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, apa yang kita konsumsi sehari-hari, energi, tempat bernaung, tetek-bengek lain, yang kita coba untuk penuhi kebutuhan itu semua setiap hari. Sementara ukuran harga barang itu tak lagi jelas karena mesti mengikuti harga pasar dunia, semakin keras kita berusaha, semakin tinggi harga semakin hari.
Ya. Begitulah. Tibalah masa produktif seorang manusia itu kemudian menghadapi akhirnya. Dalam kasus Bapak dan mungkin orang-orang tua kita sebagai kelas pekerja, yang menghabiskan hampir seluruh tenaga masa mudanya untuk mencari nafkah bagi keluarga, manusia itu memiliki batasan juga, tenaga, waktu, pikiran. Orang tua-orang tua kita itu, hidup di masa senja, berakhir tanpa pesangon, tanpa tunjangan hari tua, sakit dan menderita, sementara kehidupan harus tetap berjalan.
Maka wajar jika, apa yang dialami orang tua-orang tua semacam Bapak menimbulkan permasalahan mental; terbiasa bekerja, memiliki produktivitas, nyatanya kemudian dipaksa oleh fisik yang tidak memungkinkan, harus di rumah tanpa beraktivitas apa-apa. Timbul kecemasan, nyaris punya pikiran ingin mengakhiri hidup, karena sudah merasa tidak berguna, tidak punya sumbangan apa-apa dalam kehidupan. Itulah pikiran yang sekian lama dikonstruksi oleh  modernisasi dengan dasar materialistik dan  kapitalistik sebagai dasar negara-negara maju dan adidaya menghegemoni dunia
Maka hari ini, timbullah sebuah pertanyaan di diri saya; benarkah itu semua yang dibutuhkan manusia?
Bagaimana bisa kita dipaksa mengikuti homogenisasi semacam itu? Sehingga ukuran-ukuran yang dipaksakan pada kita ini membuat manusia menjadi satu bentuk, satu model dengan ukuran angka-angka yang telah diatur sedemikian rupa oleh negara-negara maju dan adidaya.
Dalam teori modernisasi, Alex Inkeles menguraikan bahwa masyarakat maju memerlukan "manusia modern" yang mampu mengembangkan sarana materiil agar menjadi produktif. Karakteristik "manusia modern" dibuat seragam. Ukurannya adalah, menerima hal baru, progresif, lalu ujungnya ada pada penilaian "produktivitas" dan menghasilkan  keadaan seperti ini; manusia yang dianggap tidak progresif, tidak produktif akan tergerus, terpinggirkan.
Bagaimana mungkin ukuran kemajuan selalu dinilai dengan pertumbuhan ekonomi yang diatur patokannya oleh mereka?
Bila saya coba menelaah, apakah takaran produktivitas Bapak semasa muda sampai masa pensiun berarti tidak membuat kemajuan bagi kehidupan keluarga kita? Saya mencoba menjawabnya; karena selama ini tolak ukur kita adalah apa yang masyarakat kita alami, maka Bapak akan dinilai kurang produktif. Contoh dalam lingkungan keluarga besar, kemudian tetangga-tetangga se lingkungan, pastilah menilai bahwa produktivitas Bapak selama ini kurang berarti, tidak sebesar anggota keluarga lain karena diukur dari : lebih tinggi gajinya, lebih banyak asetnya dan aspek materil lain yang pastilah Bapak jauh dari kata produktif.
Apakah itu berarti  selama ini, istri dan anak-anaknya, tidak makmur, tidak bahagia? Maka saya dengan bangga akan berkata; saya, kami semua merasa cukup, merasa bahagia, dan berterimakasih atas perjuangan Bapak, setiap tetes keringat yang Bapak curahkan demi keluarga. Sebab apa? Bapak telah produktif membangun keluarga bermental baja yang lebih mengedepankan aspek-aspek imateril, yang tak berbentuk, yang  diluar kekuatan manusia, transenden  aspek yang tak teraba oleh indra, aspek batin, yang tak melulu perihal fisik.
Ketika saya termenung-menung begini, tiba-tiba muncul notifikasi berita pada layar gawai dengan judul : Kronologi Penipuan Ratusan Jemaah Umrah, Pasutri Pemilik Agen Perjalanan Resmi Jadi Tersangka (Sumber : Tempo.co. Selasa, 28 Maret 2023 ) Sempat pula saya memutar video pasutri yang digrebek polisi pada sebuah hotel itu, dan terkagum-kagum: betapa mereka sangat produktif, karena katanya memiliki 300 lebih cabang agen perjalanan di seluruh Indonesia, tapi, tunggu dulu.
Ah! Alhamdulillah, mereka bukan Bapak dan Ibu!
Pondok Ranggon, 28 Maret 2023/ 6 Ramadhan 1444 H
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI