Hari itu, pada pertemuan kedua hari Rabu tanggal 10 September, saya mencoba merangkum sekaligus mengkritisi mengenai tulisan Bapak Drs. Study Rizal LK, MA. Di Kompasiana yang berjudul "Kabinet Baru, Harapan Lama: Apakah Reshuffle Bisa Menjawab Kekecewaan Publik?". Tulisan ini terasa sangat aktual di tengah riuh pembicaraan publik mengenai reshuffle pertama Kabinet Merah Putih di bawah Presiden Prabowo Subianto.
Tulisan ini mengajak kita melihat bahwa reshuffle bukan sekadar acara formal atau teknis pergantian pejabat. Ia adalah pesan politik yang penuh simbol, kepentingan, dan harapan. Pergantian Sri Mulyani dengan Purbaya Yudhi Sadewa di Kementerian Keuangan, misalnya, menjadi contoh betapa satu keputusan bisa memunculkan tafsir berlapis: ada yang melihatnya sebagai strategi baru untuk mengejar ambisi pertumbuhan delapan persen, ada pula yang menilainya sebagai kompromi politik yang berisiko pada kredibilitas fiskal negara. Reaksi pasar yang sempat negatif IHSG turun, investor berhati-hati, dan kekhawatiran terhadap defisit yang melebar menunjukkan bahwa pidato optimistis saja tidak cukup untuk meyakinkan publik maupun investor.
Yang menarik, publik sekarang bukan lagi penonton pasif. Mereka aktif menafsirkan, menghubungkan, bahkan mengkritik langkah pemerintah. Masuknya Mukhtarudin, Ferry Juliantono, dan Gus Irfan ke dalam kabinet segera dibaca sebagai bagian dari bagi-bagi kursi kepada mitra politik. Sementara kekosongan di dua pos penting, Menko Polkam dan Menpora, justru mempertegas bahwa reshuffle kali ini menyimpan ruang negosiasi yang belum selesai. Bagi banyak orang, kekosongan itu bukan sekadar masalah teknis, melainkan simbol pertarungan: siapa yang akan menguasai sektor strategis keamanan dan pemuda dua bidang yang amat menentukan wajah politik ke depan.
Namun tulisan ini juga menegaskan, di balik segala skeptisisme, reshuffle tetap menyalakan secercah harapan. Bagi masyarakat, setiap pergantian menteri selalu membawa kemungkinan adanya perbaikan. Akan tetapi, jarak antara harapan dan kekecewaan sangat tipis. Masyarakat sudah berkali-kali dikecewakan oleh menteri baru yang mengulang pola lama: minim transparansi, sibuk konsolidasi, dan abai terhadap partisipasi publik. Dari Sri Mulyani publik belajar tentang pentingnya kredibilitas fiskal dan komunikasi yang tegas; dari Abdul Kadir Karding ada jejak kerja di isu perlindungan pekerja migran yang masih penuh PR; dari Budi Arie ada janji penguatan koperasi yang belum tuntas. Semua pengalaman itu menjadi cermin bagi pengganti mereka: apakah mampu menambal kekurangan sekaligus melanjutkan yang sudah baik.
Bagi saya pribadi sebagai mahasiswa, ini bagian paling reflektif dari tulisan tersebut. Ia mengingatkan bahwa reshuffle seharusnya bukan monolog kekuasaan, melainkan dialog dengan rakyat. Jika hanya menjadi monolog, reshuffle akan berakhir sebagai bahasa simbolik yang kering makna. Namun bila dihayati sebagai dialog, reshuffle bisa menjadi pintu masuk bagi komunikasi politik yang lebih jujur, transparan, dan terbuka.
Membaca tulisan ini membuat saya merenung: apakah kabinet baru benar-benar akan menjawab harapan lama rakyat, atau justru menambah daftar panjang kekecewaan? Publik kini tidak lagi mudah dipuaskan oleh seremoni pelantikan dan retorika penuh janji. Mereka menunggu bukti nyata kinerja konkret yang dapat menutup jarak antara bahasa kekuasaan dan kebutuhan rakyat. Tulisan ini mengajak saya lebih kritis, tetapi juga tetap menyisakan ruang untuk berharap.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI