Mohon tunggu...
Ayu Laksmi
Ayu Laksmi Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Bercerita melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Waktu-Waktu Berharga

4 Juni 2021   00:13 Diperbarui: 4 Juni 2021   00:55 808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belakangan ini Alysa sedang sering dan banyak merenung tentang kehidupan. Ia berada di 1/4 abad kehidupannya dan seperti banyak milenial glorifikasi pada masanya ia mengalami hal yang disebut dengan "quarter life crisis" yang mungkin seringkali ia tak begitu paham maknanya. Banyak hal terjadi beberapa tahun kebelakang, khususnya hal-hal memilukan dan kehilangan. Dalam renungannya kali ini ia datang dengan ide untuk memutar kembali waktu. 

"Bagaimana jika aku dapat memutar kembali waktu, apakah hidupku akan lebih bahagia dan sederhana daripada saat ini? Atau justru akan makin berantakan dan tak berarah seperti apa yang seringkali aku rasakan hari ini?" Gumamnya dalam hati.

Terus menerus ia bercengkrama dengan pikiran-pikiran liar yang ada di kepalanya-- yang seringkali tidak dapat ia tanggalkan dan nafikan keberadaannya. Pikiran-pikiran itu berisik di tempat tenang, namun senyap dikala banyak orang.

"Baiklah mungkin waktuku untuk pergi mencari udara segar sekarang." Katanya pada pikirannya sendiri.

Berjalanlah Alysa seorang diri menyusuri jalanan perkotaan yang penuh dengan gedung-gedung megah khas kota metropolitan dan berhentilah ia disebuah tempat ramai penuh sesak dengan orang. Ia duduk diantara taman dalam tempat itu, namun semakin ramai orang disekelilingnya justru semakin kesepian ia menjadi. Tak kuasa menahan perasaan-perasaan yang bergemuruh dalam hatinya, ia menangis tersedu-sedu di taman yang penuh sesak dengan tatapan sinis dan bingung orang-orang yang ada disana. Namun tak seorang pun menghampirinya untuk menanyakan keadaannya, khas ibu kota dimana orang-orang sibuk dengan urusannya masing-masing tanpa peduli kondisi di sekelilingnya-- individualis.

Usai puas menangis ia menyeka air matanya kemudian kembali berjalan seorang diri menyusuri kota yang penuh dengan manusia tapi justru membuat ia merasa lebih kesepian. Kota yang penuh dengan hingar bingar kemewahan tetapi juga membawa petaka kalau-kalau batinmu tak mampu menanggungnya. Ia berjalan dengan tatapan kosong, sibuk bertikai dengan pikiran-pikiran yang ada di kepalanya. Kembali ia termenung melihat orang-orang lalu lalang, sibuk kesana kemari dengan tas dan laptop di kanan dan kiri tangannya; orang-orang lain sibuk bercanda gurau keras-keras dengan temannya seolah dunia harus tau perbincangan seru mereka; dan sisanya orang-orang yang sibuk di mabuk cinta.

Alysa datang dari sebuah kota kecil di pelosok provinsi, memikirkan bagaimana tahun-tahun terakhirnya sebelum ia memutuskan untuk pindah ke kota besar ini demi melanjutkan hidupnya--bukan suatu hal yang mudah untuk diputuskan dan dilakukan. Mungkin dapat dikatakan bahwa keputusannya untuk pindah juga adalah salah satu cara untuk ia melarikan diri dari kehidupan di kota asalnya. Tahun-tahun terakhirnya di kota kecil kesayangannya cukup menghangatkan hati, dan membuatnya terisi karena dikelilingi dengan orang-orang yang mencintainya. Sampai beberapa waktu semuanya berubah ketika ada kesalahpahaman yang tidak terselesaikan dan berlarut terus menerus. Meninggalkan luka, ketika melihat orang-orang tersayang pergi begitu saja meninggalkannya. Menyesakkan, tiap kali melihat orang-orang yang dahulu sedekat nadi sekarang sejauh matahari. Namun ia tetap dan masih sangat mencintai mereka, walaupun kali ini tak banyak kata yang dapat terucap dan hanya doa yang dapat ia sampaikan diam-diam kepada sang pencipta untuk kebaikan orang-orang tersebut.

Tahun-tahun terakhir yang tak hanya menyimpan bahagia, namun juga luka. Ada luka yang sampai saat ini masih belum sembuh dan tetap menganga bagi Alysa. Kehilangan dan luka yang begitu dalam beberapa kali membuatnya depresi yang mengantarkan dia untuk bertatap muka dengan profesional agar dapat mengobati luka di jiwanya--yang pada akhirnya percuma. Karena hanya waktu dan dirinyalah yang dapat menyembuhkan itu semua--dengan berdamai pada diri sendiri dan masa lalunya. Tahun-tahun itu juga merupakan tahun yang berat, selain karena ia tak memiliki siapa-siapa di sampingnya, ia harus menerima kenyataan untuk dipecat dari perusahaan pertama tempat ia bekerja karena pandemi yang tiba-tiba melanda, juga berbagai penolakan karena susahnya mencari kerja di jaman serba susah seperti sekarang. Sungguh sial, namun hidup harus tetap berjalan.

Pelan-pelan, setapak demi setapak, renungan demi renungan, doa demi doa ia panjatkan dan lewati-- untuk sekedar menjaga kewarasannya. Agar tak sampai hati ia melakukan hal yang disarankan pikiran terjahatnya yang berkata hidupnya tak lagi punya makna dan arti, toh sekalipun ia lenyap dan menghilang tak seorangpun akan mencari dan merindukannya. Benar-benar pikiran yang naas dan sialnya beberapa kali percobaan itu ia sempat lakukan. Hingga pada suatu titik ia merenung dan berpikir bahwa itu semua bukan akhir dari segalanya dan perlahan ia harus tetap bangkit. Ia teringat akan sebuah kalimat sederhana namun penuh makna, yang kurang lebihnya berkata bahwa:

"Apabila berat bagimu untuk berlari, maka berjalanlah. Jika kau tetap tidak mampu berjalan, maka merangkaklah. Tapi pastikan bahwa kau akan tetap dan selalu bergerak." 

Hal ini yang kemudian memotivasi Alysa agar tetap bertahan walaupun badai menghantamnya terus-terusan. Karena ia selalu percaya bahwa Tuhan tidak pernah berkhianat akan janjinya untuk menghadirkan pelangi seusai badai reda. 

Alysa perlahan menapaki dan menata kembali dirinya, mencoba untuk merelakan dan mengikhlaskan hal yang sudah terjadi dan bukan miliknya, sibuk melakukan hal yang digemarinya: menulis dan fotografi, menjadi pekerja lepas agar ia sibuk dan dapat mengalihkan pikiran-pikiran liarnya hingga mencoba peruntungannya kembali untuk mendaftar di berbagai perusahaan. Walaupun belum memperlihatkan hasil untuk sekarang, Alysa selalu percaya bahwa niscaya akan selalu ada jalan untuk segala kemauan dan usaha yang dilakukan dengan sepenuh hati.

Di beberapa 1/3 malam ia tetap tak dapat memungkiri pikirannya untuk memutar kembali waktu. Bukankah waktu-waktu yang terbuang dan terjadi merupakan waktu-waktu yang berharga, yang seharusnya ia gunakan dengan lebih bijaksana. Namun pada akhirnya ia sampai pada renungan bahwa waktu-waktu yang mungkin banyak terbuang tersebut, justru merupakan waktu-waktu yang paling berharga; yang memberikan nilai dan pelajaran di setiap momennya-- yang menjadikan ia pribadi seperti ia sekarang. Pribadi yang bersyukur dan mau terus belajar serta beradaptasi dalam setiap perubahan dan keadaan sulit lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun