Pendekatan positivistik sering mengabstraksikan entitas bisnis dari konteks sosial, budaya, kelembagaan, regulasi, norma, dan sejarah. Padahal akuntansi tidak beroperasi dalam ruang hampa, tetapi ia dipengaruhi oleh lingkungan institusional, regulatif, politik, budaya perusahaan, tekanan pemangku kepentingan, dan relasi kekuasaan.
Kurangnya refleksi nilai dan etika
Akuntansi tidak sekadar teknis tetapi juga moral, misalnya dalam pengungkapan, pengukuran risiko, konservatisme, manipulasi akuntansi, pengungkapan yang bias, transparansi, tanggung jawab sosial. Paradigma teknis saja tidak memadai untuk mengkaji aspek moral tersebut.
Fenomena kompleks dan makna ganda
Banyak fenomena dalam akuntansi bersifat kompleks, ambigu, dan ganda (multiinterpretasi). Contohnya seperti goodwill, estimasi cadangan kerugian piutang, penurunan nilai aset, penyajian laporan manajemen, akuntansi keberlanjutan. Interpretasi atas hal-hal ini membutuhkan pemahaman mendalam, tidak sekadar model matematis.
Kebutuhan interpretasi stakeholder
Pengguna laporan keuangan (investor, kreditur, regulator, masyarakat) tidak hanya membaca angka, tetapi menginterpretasi maknanya, memahami kebijakan manajemen, mempertanyakan asumsi dan relevansi. Oleh karena itu, akuntansi harus menyediakan ruang interpretasi, bukan sekadar penyajian angka statis.
Keunggulan Pendekatan Hermeneutik dalam Akuntansi
- Mengkaitkan angka dengan narasi dan makna
Pendekatan hermeneutik memungkinkan menghasilkan pemahaman mendalam tentang bagaimana angka dihasilkan, apa maksudnya, dan apa dampaknya bagi berbagai pihak. Hal ini membuat akuntansi menjadi lebih reflektif dan bermakna. - Memunculkan dimensi etika dan tanggung jawab
Dengan menyoroti nilai, makna, dan empati, pendekatan hermeneutik membuka ruang bagi diskusi tentang tanggung jawab sosial, keadilan, transparansi, dan hak stakeholder dalam praktik akuntansi. - Memahami konteks historis-sosial
Pendekatan ini memaksa peneliti untuk memperhatikan latar institusional, historis, budaya organisasi, regulasi, tradisi perusahaan, dan tekanan sosial dalam interpretasi akuntansi. Hal ini memperkaya pemahaman dan meminimalisir reduksionisme. - Fleksibilitas metodologis
Hermeneutika tidak menetapkan satu metode tunggal, melainkan kerangka interpretative. Sehingga peneliti dapat menggunakan wawancara mendalam, analisis dokumen, etnografi organisasi, interpretasi naratif, studi kasus, dan teknik yang cocok dengan konteks subjek penelitian. - Keterbukaan interpretasi dan pluralitas perspektif
Karena makna tidak tunggal, hermeneutika mengakui bahwa akan ada interpretasi yang berbeda dari pihak yang berbeda. Hal ini merangsang dialog kritis, refleksi, dan keterbukaan atas berbagai sudut pandang. - Mengembalikan manusia ke dalam akuntansi
Akuntansi hermeneutik menempatkan aktor manusia (manajer, akuntan, auditor, stakeholder) bukan sebagai entitas pasif, tetapi sebagai subjek bermakna yang berinteraksi, berinterpretasi, dan bertanggung jawab atas angka. Dengan demikian, akuntansi menjadi bagian dari ilmu sosial-humaniora, bukan hanya teknik.
Beberapa literatur akuntansi telah menyebut bahwa teori akuntansi hermeneutik memperluas epistemologi akuntansi dengan mengintegrasikan dimensi moral, historis, dan sosial dalam proses interpretasi realitas ekonomi. Selain itu, tulisan "Mengungkap Jiwa di Balik Angka" menyebut bahwa akuntansi hermeneutik berupaya melampaui angka untuk menemukan makna moral, nilai, dan tanggung jawab yang tersemat dalam praktik bisnis.
Dengan demikian, pendekatan hermeneutik tidak bertujuan menggantikan paradigma positivistik sepenuhnya, melainkan sebagai pelengkap atau penyeimbang yang mampu menangkap aspek-aspek makna, nilai, dan interpretasi yang tidak dapat dijangkau oleh model teknis saja.
Aksiologi: Nilai, Empati, dan Makna Moral dalam Angka (Akuntansi)
Salah satu aspek penting dalam pemikiran hermeneutik dan sangat khas dalam pemikiran Dilthey adalah perhatian terhadap nilai, makna moral, dan empati. Dalam kerangka akuntansi, aspek aksiologis ini menjadi penting untuk menjembatani antara angka dan tanggung jawab manusiawi.
Posisi Aksiologi dalam Hermeneutika
Dilthey menyadari bahwa dalam ilmu kemanusiaan, nilai (value) tidak bisa dieliminasi dari proses pengetahuan. Pengetahuan manusiawi selalu terkait dengan nilai-nilai budaya, etika, dan cita-cita (Weltanschauung). Oleh karena itu, hermeneutika tidak hanya soal interpretasi makna, tetapi juga menyadari peran nilai dalam menangkap makna tersebut.
Dalam pandangan Dilthey, tiga kategori penting dalam ilmu kemanusiaan adalah makna (meaning), nilai (value), dan tujuan (purpose), hal-hal ini berhubungan dengan aspek temporal (keterkaitan masa lalu, masa kini, masa depan) dan pengalaman manusia. Nilai, dalam konteks pengalaman manusia, lebih dari sekadar preferensi, tetapi ia menyangkut orientasi moral, estetika, dan dunia pandang manusia.