Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nyonya Smith dan Gorden Kesayangan

1 April 2022   07:30 Diperbarui: 1 April 2022   07:31 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi foto: istockphoto.com

Ada yang aneh dari isi surat wasiat Nyonya Smith. Setidaknya begitulah penilaian kelima anaknya setelah notaris mengumpulkan mereka dan membacakan secara lengkap.

Berbagai aset tidak bergerak yang nilainya cukup mengejutkan, diterima sama rata dan senang hati. Sarah, Helen, Evany, Peace, dan Jolly bahkan tidak menyadari ibu mereka sekaya itu.

Tetapi fokus gadis-gadis itu segera teralih pada tiga benda yang tidak boleh dibagikan maupun dihibahkan. Alasannya pun tidak disebutkan sama sekali. Ketiga benda itu adalah mesin jahit antik, jam besar klasik, serta gorden kesayangan Nyonya Smith.

Pada hari kesepuluh setelah pembacaan surat wasiat itu, sambil menikmati masakan oriental yang kusiapkan, si bungsu Peace memulai pembahasan tentang  ketiga benda tersebut.

"Menurut kalian, mengapa mesin jahit itu tetap menjadi hak mama?" tanyanya.

Untuk beberapa saat, mereka hanya terdiam. Masing-masing memutar otak sambil menghabiskan makanannya. 

"Tentu karena mesin jahit itu sangat antik, dan mama sudah memenangkan lelang untuk mendapatkannya. Mesin jahit tersebut milik rumah mode yang pernah berjaya ketika itu. Pasti sangat keren!" sahut Jolly dengan mimik bangga.

"Ya, itu benar. Dan wajar jika mama tidak ingin salah satu dari kita memilikinya. Kita pasti akan menjualnya karena tidak membutuhkan barang seperti itu," timpal Sarah, sang sulung, seraya membentuk senyuman dari bibirnya yang tipis.

Suasana ruang makan hening lagi. 

Aku memperhatikan mereka dari arah dapur sambil merebus susu. Betapa beruntung gadis-gadis itu mempunyai ibu seperti Nyonya Smith.

"Jam besar klasik itu?" seloroh Evany tiba-tiba. Sepasang matanya yang tajam, mengingatkan pada mata nyonya Smith.

"Entahlah..." Helen mengedikkan bahu, lalu menyuap potongan besar daging asap kesukaannya.

Sebenarnya di rumah itu masih banyak barang antik bahkan kuno, koleksi almarhum. Tetapi hanya mesin jahit antik, jam besar klasik, dan gorden jendela berwarna putih kelabu yang dilarang dibagikan atau dihibahkan. Aneh, bukan?

"Untuk apa kita pusing-pusing memikirkan masalah ini? Berdebat juga ngga ada gunanya, kan" celetuk Jolly acuh tak acuh.

"Hey, bukan berdebat, tetapi mencari tahu apakah ketiga benda ini menyimpan misteri tersendiri. Itu aja kok!" Peace cepat menyahut. Kulitnya yang gelap, semakin mengesankan ekspresi ketidaksukaan di wajahnya.

Sesaat Sarah menarik nafas. Meletakkan sendok dan garpunya di piring. "Nanny...." ia setengah menjerit.

Aku tersentak, buru-buru menghampiri gadis-gadis itu. "Hai anak-anak! Apa ada yang kalian butuhkan? Atau ada makanan yang kurang kalian sukai?" kataku berusaha mencairkan suasana.

"Kami ingin bertanya saja, sebab Nanny sudah lama bekerja pada mama, sejak kami belum lahir," kata Sarah sambil menatap manja. Ia bangkit dari kursinya, lalu merangkul seperti yang biasa dia lakukan.

"Nanny tahu, apa keistimewaan jam besar di bawah tangga itu?" tanyanya sambil menaikkan alis dan menatap manja.

"Aku tidak tahu," kataku sambil membimbingnya duduk kembali. Lalu aku memilih satu kursi yang masih kosong di sebelah Helen.

"Mama kalian adalah wanita pemimpin yang tangguh. Setiap yang dia katakan, kami belum tentu memahami maksud dan tujuannya. Tapi di waktu mendatang, barulah kami melihat dan memahami apa yang pernah dia maksudkan.

"Nyonya Smith adalah wanita yang hebat. Dia tidak pernah meminta pendapat sahabat-sahabatnya, dan memutuskan sendiri apa yang akan dia lakukan. Kalian tahu kan, Nyonya Smith adalah wanita yang sukses?" kataku lagi, berharap gadis-gadis itu memahaminya.

"Yaaahh, Nanny! Itu sih bukan jawaban yang kami butuhkan..." protes si bungsu merajuk.

"Kami butuh tahu riwayat ketiga benda yang posisinya dikecualikan dari seluruh aset yang diwariskan!"

Aku berpikir beberapa lama. Seandainya Nyonya Smith mendengar pertanyaan ini, jawaban apa kira-kira yang akan dia berikan?

"Tidak ada riwayat khusus, Sayang."

"Termasuk gorden itu?" Sarah bertanya sambil menggoyangkan kepalanya.

"Sejujurnya itu semua adalah hak dan keputusan mama kalian. Kita tidak usah membahasnya lagi, okey?" aku coba membujuk.

"Tuh kan, aku kan sudah bilang..." Jolly menyambar penuh kemenangan, membuat Peace manyun di kursinya.

*

Pukul empat sore, anak-anak Nyonya Smith sudah meninggalkan rumah bersama tim notaris. Mereka akan melihat beberapa aset yang tidak pernah disebut wanita itu semasa hidupnya.

Aku memutuskan membersihkan kamar utama, sebelum nanti menyiapkan makan malam. 

Serasa tak percaya, rumah ini sudah kehilangan nyonya rumah yang begitu baik. 

Sejak Tuan Adolf Smith tewas dalam kecelakaan pesawat, Nyonya Smith terus bekerja keras mengendalikan perusahaan. Banyak pria sukses dan tersohor mencoba mendekatinya, tapi ia memilih mempertahankan Tuan Smith sebagai satu-satunya pria dalam hidupnya.

Meski hampir dua puluh tahun berlalu, tak satupun pigura maupun benda-benda yang pernah dibeli Tuan Smith digeser dari posisinya. 

Begitu pula dengan gorden kesayangan Nyonya Smith yang merupakan hasil jahitan ibu mertuanya. 

Pada awal mereka pindah ke rumah ini, Nyonya Paul sengaja menjahit sendiri kain gorden terbaik dari pabrik milik suaminya. Terbukti sampai sekarang gorden itu awet meski berkali-kali dicuci dan tak pernah diganti. 

Bagi Nyonya Smith, mengganti atau memindahkan benda yang diberikan dengan sepenuh cinta, adalah bentuk pengkhianatan dan usaha untuk melupakan orang tersebut. Nyonya Smith tak suka melakukannya.

"Nyonya?" tiba-tiba Nyonya Smith sudah berdiri di dalam kamarnya, di dekat jendela sambil sedikit membuka gorden memandang keluar.

Ini adalah kebiasaan yang sering dia lakukan setiap kali mendengar suara mobil memasuki halaman. Sepertinya Nyonya itu masih mengharapkan Tuan Smith pulang dengan selamat sampai di rumah.

Aku mengusap mataku, mungkin saja aku berhalusinasi. Jangan-jangan aku hanya salah lihat.

Benar. Tidak ada siapa-siapa di sana. 

Kota Kayu, 1 April 2022

Cerpen Ayra Amirah untuk Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun