Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Risalah Cuaca

13 April 2020   05:25 Diperbarui: 13 April 2020   05:25 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber: Pixabay.com. 

Mengapa orang-orang lebih melihat bola matanya, mengumpulkan mendung, menghujani perjalanan nasib yang sering limbung. Padahal matahari tak pernah ragu, mengabarkan cuaca setiap pagi, langit cerah, awan berarak dengan bentuk indah yang berubah-ubah. 

Begitu pula hujan, bagaimana mengajarkan terjadinya titik air, karena awan-gemawan saling lekat membentuk kegelapan yang pekat, kemudian pecah berhamburan bermilyar jarum air, dan tak ada yang berkhianat 

Tapi orang-orang lebih suka mendustai isi kepala, hingga membuat sempit rongga dada, hati begitu kemarau, mata hanya melihat jalan-jalan yang risau, seolah-olah akan berselancar di lautan pisau 

Lalu tanah-tanah, pebukitan yang runtuh, menyapu rata tempat bernaung, ladang-ladang yang subur, juga orang-orang tercinta, bukanlah isyarat perjalanan akan tamat, tapi untuk mengingatkan hati jangan jauh-jauh kepada Tuhan yang sangat dekat 

Deretkan lagi hama yang meruyak, menguburkan harapan tentang tetanaman yang rusak. Wabah yang tak terduga, yang dulu tak ada dalam kosakata, yang sebenarnya sebagai cermin pengingat, agar kita selalu membaca 

Tentang kekuasaan yang maha dari segala maha 

***

Cilegon, April 2020. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun