Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Jajanan dari Surga

10 April 2020   16:49 Diperbarui: 10 April 2020   17:04 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber: doktersehat.com.

Akhirnya Kakak dan Dedek -  aku menyebut kedua anakku  -  mau dibujuk tak akan ikut denganku. Seperti biasa, aku menggendong Kakak, membujuk dan menciumi pipinya. 

"Tapi ke tempat Neneknya jangan lama-lama," rajuk Kakak. 

"Nggak. Ayah kan cuma nengok Nenek yang sakit. Nanti kalau Nenek udah sembuh, Ayah balik lagi. Ayah kan harus kerja?" kataku. 

"Tapi, tapi..., nanti habis dari rumah Nenek kita jalan-jalan."

"Ya."

"Beli martabak," celetuk Dedek, anak lelakiku. 

"Ya, nanti beli yang banyak."

"Naik kereta-keretaan, naik balon," Dedek lagi. 

"Ya, semuanya."

"Bunda?"

"Bunda juga nanti ikut. Ya kan, Bun?" aku memandang istriku. 

Istriku mengangguk, tersenyum. 

"Ayah berangkatnya kapan?" tanya Kakak lagi. 

"Nanti sore, naik kereta. Ya, udah, Ayah mau beres-beres dulu, ya?"

***

Sorenya saat akan berangkat Kakak masih menggelayuti tanganku. Ia memang lebih dekat denganku dibanding bundanya. Kurasa sejak ia masuk sekolah TK, hingga kelas dua SD sekarang ini. Sedang Dedek, anak lelakiku, yang masih sekolah TK nol kecil juga relatif cukup dekat, walau tak sedekat bundanya. 

"Jangan lama-lama ya, Yah?" Kakak mengingatkanku. 

Aku mengangguk. "Tuh, Ayah hanya bawa baju dua setel, tiga dengan Ayah pakai," kataku meyakinkan. 

"Tunggu, Yah!" 

Gadis kecilku lari ke kamarnya. Tak lama ia keluar sambil membawa bungkusan dari koran, diikat dengan karet. Menyerahkan padaku, "Bukanya di kereta aja," kata Kakak, gadis kecilku. 

"Terima kasih, ya?" kataku tersenyum, menciumi pipi Kakak. 

Tak lama mobil yang kupesan lewat online datang menjemput. Sekali lagi kuciumi pipi kedua anakku. Juga kening istriku. 

***

Baru separuh jalan aku menuju stasiun kereta, hp-ku berdering. Dari istriku. 

"Ini Kakak, ingin nelpon Ayahnya," terang istriku. 

"Halo Kakak...? Belum, Ayah belum naik kereta... Ya, nanti Ayah buka di kereta... Hahaha...! Nggak, Ayah nggak hujan-hujanan. Apa? Oh, ya, nanti Ayah kasih tahu ke Nenek, kalau Kakak sudah bisa baca... Ya, lebaran nanti pulang sama-sama... Apa? O, Dedek mau ngomong juga? Dedek...? Halo...?"

"Aa-yah...?" Diam. "Mm... beli martabak."

Aku terbahak. 

***

Di atas kereta aku termenung memandang keluar, lewat kaca jendela kereta. Aku teringat ibuku. Mm, mudah-mudahan sakit ibuku tak terlalu mengkhawatirkan. Cerita adikku lewat telepon pagi tadi Ibu tak mau dirawat di rumah sakit. Aku berharap penyakit Ibu tak terlalu parah. 

Aku membuka bekal diberikan istriku tadi. Kumakan sepotong kecil biskuit, juga kubuka botol minuman, air mineral. 

Tiba-tiba mataku melihat sebuah bungkusan kecil. O, itu tadi yang diberikan gadis kecilku. Ketika kubuka, rasanya aku ingin tertawa. 

Hanya makanan ringan, khas anak-anak, seharga sekitar seribuan per bungkus. Ada kacang, pilus, wafer, ciki, juga ada kerupuk, tapi cuma separo. Ada sobekan kertas buku, dengan tulisan. 

Dokpri. 
Dokpri. 

Ayah 

Krupuknya dimakan Dedek 

Itu pake duit Kakak 

Nanti diganti ya, Yah? 

Aku tersenyum haru. Kalau dekat mungkin kedua anakku habis pipinya kuciumi.                     

Biasanya aku sering mengingatkan anakku, agar tak sering membeli jajanan seperti itu. Selain dikhawatirkan soal kebersihannya, juga jajanan seperti itu banyak mengandung MSG, zat pewarna, dan pemanis buatan. 

Kali ini kurasakan makanan itu begitu nikmat, juga kerupuk yang sudah layu itu.

"Beli di mana, Pak?" tanya seorang ibu yang duduk di hadapanku. 

"Dari surga," jawabku tersenyum. 

Ibu itu seperti terheran-heran dengan jawabanku. Biarlah, cerita ini aku saja yang menikmati. 

***

Cilegon, April 2020. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun