Dia meraih istri dan anak-anaknya, sambil meronta-ronta, mengeluarkan raungan buas. Namun Perawan Rimba tak sudi melepaskannya, dan dia berjuang dengan sia-sia.
Raungannya menjadi lemah dan seperti binatang buas yang terpojok, air mata putus asa mengalir dari matanya.
"Sudah berapa lama kau menyihirku, Perawan Rimba?"
Gadis itu menempelkan tubuhnya ke tubuhnya. "Sudah berapa lama aku membantumu melihat?"
Ciuman Perawan Rimba menenangkannya sambil membangkitkan sensasi yang sudah lama mati. Ia merasakan madu dan buah buni hutan, mencium serbuk sari dan kelopak bunga, dan kelahiran kembali. Kegembiraan dan kelelahan membuatnya menggigil.
Dia tahu dalam lubuk hatinya bahwa semua ini telah berlalu, bahwa dia telah berulang kali gagal mengingat apa yang harus dia ingat dan kembali ke rawa.
Dan dia tahu kesempatan terakhirnya telah berlalu.
Jauh di dalam, di mana hutan melilit dan mencekik gairahnya, cinta yang goyah akhirnya menyerah pada semak berduri dan pohon tampinur. Sekarang hanya ada kekasihnya, dan satu-satunya keinginannya adalah menjaganya dari bahaya.
Perawan Rimba berbisik di telinganya. "Lindungi aku."
Dia mengangguk, dan dari ikat pinggangnya dia mencabut belati yang diukir dari batu obsidian hijau yang sangat langka, seperti sinar matahari yang bersinar melalui daun pohon burja perak.
Di padang rumput, si penebang kayu melambaikan tangan kepada keluarganya dan menuju ke perbukitan dengan kapak di tangannya.