Pria yang menyimpan hutan di hatinya berdiri di tempat pepohonan berganti menjadi rumput dan sinar matahari. Dari balik bayangan yang memudar, dia mengintip pondok-pondok di tanah lapang luas. Kabut kenangan berputar-putar di sekitarnya, berbisik bahwa tempat ini dulunya adalah rumahnya.
Dia tidak dapat mengingat apa nama dusun itu. Dia bahkan tidak dapat menemukan namanya sendiri di antara benang kusut ingatannya yang kacau. Seperti duri yang kusut di rambutnya, berbagai identitas berserakan di benaknya.
Suami. Ayah. Kepala Suku Rimba.Â
Namun, mereka tampak jauh dan redup. Dia hanya tahu ini: ketika dia memasuki hutan, dia melakukannya untuk melayani orang lain, orang yang mengatur takdir banyak orang. Namun, jauh di dalam pohon sonokeling dan cemara, dia telah kehilangan jalannya, dan sesuatu yang lain telah merenggutnya.
Tampaknya sudah lama sejak lumut mencengkeram perisai kulit dan zirah bajanya, dan nuansa hutan telah merayap ke dalam pakaiannya. Kulitnya yang cokelat telah berubah menjadi hitam pekat, seperti tanah yang telah melahap sepatu butnya. Sekarang Kini kapalan dan berbalur  lumpur. Aroma jamur daun yang apek dan damar manis terbawa angin bersamanya. Angin yang sama menyapu lonceng kayu yang tergantung di beranda pondok. Lonceng-lonceng itu berdenting karena angin sepoi-sepoi, suara yang hampa, tetapi dengan cepat lonceng itu terisi dengan tawa seperti lonceng saat tiga anak berlarian lewat. Suara-suara itu akrab di telinganya, tetapi bergema di balik tabir tipis yang tidak bisa dia tembus.
Anak-anak itu menjerit kegirangan saat seorang wanita berambut hitam mengejar mereka dengan riang. Wajah mereka tampak bengkok dan buram, seolah-olah terbungkus pita-pita air, tetapi dia mengenali masing-masing dari mereka. Mereka lebih tua dari yang dia ingat, meskipun masih sama cantiknya, dengan kulit kecokelatan dan warna rambut seperti bulu gagak---sama seperti ibu mereka.
Dia ingat berbaring bersamanya di bawah sinar matahari dahulu kala. Rambut itu terurai di tangannya dengan tekstur seperti serat angin musim panas. Pipinya terasa sakit saat dia melawan dorongan aneh untuk tersenyum, dan ia menikmati campuran kesenangan dan rasa sakit.
Tabir mulai tersingkap.
Tawa kecil yang dalam selaras dengan paduan suara tawa. Seorang pria, bertubuh tinggi kekar, melangkah keluar dari pondok dengan kapak penebang kayu di bahunya. Anak-anak bergegas menghampirinya, dan dia merengkuh mereka dengan lengannya yang bebas, memberikan ciuman lembut di dahi masing-masing. Wanita itu memperhatikan, tersenyum.
Perasaan terganggu mencengkeram pria dalam bayang-bayang, dan dia mengerutkan kening. Sesuatu yang berharga telah diambil darinya, dan dia melangkah keluar dari hutan untuk merebutnya kembali. Namun sebuah suara, lembut dan feminin, menghentikan langkahnya.