Ada suara yang berbisik menenangkan dalam jiwaku. Suara itu mendorong jiwa, pikiran, dan hatiku untuk tidak peduli dengan hebohnya masyarakat sekitar, tetapi juga keheningan di sekelilingku.
Kemarin, ketika matahari tertidur, teriakan Mando membangkitkan bulan.
Dia dihajar hingga sekarat oleh kerumunan manusia lebah di kampung kami. Tiurma menuduhnya melakukan percobaan rudapaksa.
Ini adalah tuduhan yang keterlaluan, karena bahkan tanah lempung pun tahu bahwa Mando seorang pengecut melebihi tikus. Namun, masyarakatku adalah sarang tawon dan kami adalah lebah. Kami menyengat siapa pun yang disemprot dengan parfum yang harum kembang.
Air mata dan darah Mando habis kami isap. Dia baru saja kehilangan ayahnya belum lama ini, tetapi lebah tidak mengenal belas kasihan termasuk pada anak yatim.
Minggu lalu, ketika ayam jantan membuat pengumuman bahwa matahari telah bangkit, suara  tembakanlah yang membuat kami semua bangun dari tempat tidur. Sumber suara tembakan itu tidak diketahui, tetapi kami sebagai lebah melacaknya. Di sana, tubuh Tondi menyatu dengan permukaan tanah, dibatasi oleh genangan darahnya sendiri. Ia dikenal sebagai pencuri dan kali ini, kambing Ogek pensiunan sersan polisi yang membayar kematiannya.
Ke mana suara dalam diriku? Suara yang mendorong jiwa, pikiran, dan hatiku agar tidak menyesuaikan diri dengan masyarakat, dapat menjangkau ketika semua telinga dan hati di sekitarku tertutup?
Masyarakat ini telah menjadi sarang lebah dari dulu. Menemukan dan menyengat orang lain.
Bapakku lahir dalam kondisi ini. Suatu malam yang dingin dia tidur dan tidak melihat matahari di pagi hari. Ibuku juga lahir dalam keadaan serupa, seekor ular membawanya ke liang lahat, di ladangnya sendiri pada suatu sore yang cerah.
Jadi, siapakah aku untuk menentang ini?