Tisa mencondongkan tubuh ke depan, matanya menatap lurus ke dalam hati Anggun.
"Karena kamu pikir kebun itu hanya tanah. Sesuatu yang bisa dijual. Tapi itu kenangan. Rasa bersalah. Harapan. Dan cinta. Semua itu hidup di sini. Bukan hanya di dinding atau kebun. Tapi dalam apa yang kamu rasakan saat berjalan di rerumputan. Dalam apa yang kamu dengar saat angin memanggilmu."
Anggun terdiam. Dia tidak mengerti segalanya. Tapi dia merasakannya. Dan itu sudah cukup untuk saat itu.
Tisa bersandar, menyesap lagi, lalu tersenyum.
"Kamu bukan Malini. Tapi kamu juga bukan sekadar Anggun dari Florence, Italia. Kamu berada di antara dua garis. Dan kau harus memutuskan garis mana yang ingin kau terus gambar."
Itu bukan undangan. Itu hadiah. Kebebasan untuk memilih.
Saat Anggun berdiri untuk mengucapkan selamat tinggal, senja telah tiba. Langit bermandikan cahaya merah keemasan yang jatuh melalui jendela seperti berkah terakhir. Tisa menemaninya ke pintu dan meletakkan tangannya di lengannya.
"Apa pun yang kamu lakukan - lakukanlah dengan sepenuh hati. Maka itu akan benar."
Anggun mengangguk. Dia tak bisa berkata apa-apa. Namun ada sesuatu yang bergejolak dalam dirinya. Sesuatu yang lama. Sesuatu yang baru.
Mungkin keduanya.
Ketika dia berjalan kembali ke halaman, dia merasakan kesejukan senja di kulitnya. Mendengar kerikil berderak di bawah langkah kakinya. Mencium aroma hujan yang mendekat. Namun, semuanya terasa lebih cerah dari sebelumnya.