Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Misteri Alien: 13. Di Mulut Gua

4 Oktober 2025   12:31 Diperbarui: 4 Oktober 2025   12:31 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Sebelumnya: Misteri Alien: 12. Rahasia Malam

Pandu tampak gugup.

"Berapa lama lagi sebelum bulan terbit?" tanyanya, karena tahu malam itu saatnya bulan purnama.

Sakti yang berjalan di depannya, menjawab dari balik bahunya, "Kurang dari dua jam."

Malam menyelimuti mereka dalam bayang-bayang. Suara punggok tondian, burung hantu endemik Sulawesi tengah, samar-samar membuat bulu kuduk mereka merinding.

Setiap gemerisik di semak-semak membuat jantung mereka berdebar kencang, tetapi daya tarik dari hal yang tidak diketahui membuat mereka terus maju.

Hewan-hewan makhluk nokturnal menikmati kegelapan. Ke mana pun mereka menyorotkan senter bisa terlihat mata yang bercahaya ada di mana-mana. Seolah-olah semak-semak tidak pernah benar-benar tidur. Langkah mereka lebih lambat dari hari sebelumnya, tetapi setelah berjalan selama berjam-jam, Mando akhirnya berhenti untuk beristirahat.

Bulan perlahan menunjukkan wajahnya, dan kegelapan itu berubah menjadi keperakan.

Mando duduk di atas batu datar dan mengeluarkan radio dua arah, memastikan kepada Paman Miko bahwa semuanya masih aman dan terkendali.

Pandu masih gelisah.

"Apa rencana kita selanjutnya?" tanyanya. Wajahnya bercampur antara khawatir dan penasaran.

Gita yang berdiri dekat dengan Sakti menyuarakan pikirannya.

"Kita lihat saja nanti, tidak perlu jadi pahlawan. Kita bisa kembali siang hari."

Dia tidak suka petualangan malam saat ini. Terlalu menegangkan dan menakutkan.

Pingkan setuju.

"Ya, aku sepakat dengan Gita. Kita akan perlahan mendekat dan melihat apa yang terjadi. Lalu kita akan keluar dari sini dan memberi tahu orang dewasa." Kata-katanya sedikit menenangkan Pandu.

Sambil mengenakan kembali ranselnya, Mando menjelaskan, "Berhati-hatilah dari sini. Kita akan memasuki wilayah gunung sekarang. Kita akan terbagi menjadi dua kelompok. Aku akan memimpin yang pertama, dan Sakti yang kedua. Kita akan menjaga jarak tetapi tetap saling melihat."

Mando, Gilang, Ratri, dan Faris memimpin jalan, dan beberapa menit kemudian, Sakti, Gita, Pingkan, dan Pandu mengikuti. Mereka perlahan berjalan ke arah tempat mereka melihat cahaya yang diyakini Pandu sebagai tempat dia melihat gua.

Bulan telah muncul dan penglihatan mereka membaik sehingga mereka tidak lagi menggunakan senter.

Setelah sekitar setengah jam mendaki, Mando berhenti dan menunggu kelompok Sakti bergabung dengan mereka.

"Gua itu ada di sana. Pingkan, aku sarankan kamu tetap menyalakan radio sementara Sakti dan aku mendekat. Kalau terjadi sesuatu, hubungi radio untuk meminta bantuan dan keluar dari sini," bisiknya. Tangannya agak gemetar ketika memberikan radio itu kepada Pingkan.

Anak-anak itu melepas ransel mereka, dan Sakti memberikan ranselnya kepada Gita untuk disimpan.

Sesaat pandangan mereka bertemu. Gita berbisik, "Hati-hati," yang dijawab Sakti dengan anggukan kecil dan senyum malu-malu.

Dengan hanya berbekal senter, kedua anak laki-laki itu mulai merangkak dengan tangan dan lutut mereka menuju pintu gua. Mando jauh lebih berpengalaman di semak-semak, tetapi Sakti melakukan apa pun yang dia bisa untuk tetap bersamanya.

Pintu gua itu kini berada tepat di depan mereka, hanya sebuah lubang gelap tetapi cukup besar untuk dilewati dua orang dewasa berdampingan tanpa kesulitan.

Sakti menatap Mando dan berbisik, "Kelihatannya kosong. Ayo masuk."

Mando mengangguk dan bangkit dari posisi merangkak.

"Kurasa kita tidak akan menemukan apa-apa," katanya keras-keras sambil menyorotkan senternya ke celah itu.

Angin sepoi-sepoi bertiup dari gua, tetapi dengan cepat berubah menjadi gemuruh kencang. Keduanya berdiri diam mematung.

Tiba-tiba cahaya ungu terang menyelimuti mereka, dan pemandangan di sekitar mereka berubah. Dinding gua yang kaku meleleh menjadi koridor-koridor bermandikan warna ungu.

Mando berkedip, mencoba menyingkirkan kabut di pikirannya, tetapi tubuhnya bergerak seolah-olah terkena hipnotis.

BERSAMBUNG

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun