Sebelumnya: Misteri Alien: 7. Pingkan dan Mando
Gita terbangun kaget karena mendengar suara aneh di jendela.
"Ratri!" dia berteriak memanggil temannya. Jantungnya berdebar kencang.
Ratri, yang juga terguncang, berlari ke pintu sambil berteriak, "Tolong! Tolong!"
Paman Miko segera berlari masuk ke kamar mereka, dan dia melihat kedua gadis yang trauma itu.
Sambil menangis, Ratri menjelaskan, "Ada monster di jendela kami!"
Pandu yang menyusul Paman Miko membenarkan kata-kata Ratri dengan mata terbelalak. "Ya, aku juga mendengarnya! Monster itu mengeluarkan suara-suara menakutkan dan mencoba membuka jendela!"
Paman Miko tertawa terbahak-bahak hingga mengeluarkan air mata. "Itu bukan monster, itu Sopiye, sapi perah kami!" Paman Miko menjelaskan.
"Kami membesarkan Sopiye sejak dia baru lahir. Dia sedang meminta  makan."
Paman Miko membuka jendela, dan kepala besar Sopi muncul, menyambut mereka dengan suara keras. "Mooooo!"
Paman Miko menyadari bahwa anak-anak masih takut. "Coba sentuh dia dan usap-usap kepalanya. Sopiye sapi yang ramah, kok!" dia menyemangati mereka.
Faris akhirnya memberanikan diri untuk menyentuh dan mengusap-usap kepala Sopiye. Perlahan, anak-anak lain mengikutinya, dan segera saja terdengar gelak tawa dan canda.
Karena hari sudah subuh dan matahari sudah mengintip dari balik gunung, anak-anak memutuskan untuk segera bangun dan bersiapsiap untuk perjalanan mereka ke air terjun di gunung.
Tak lama kemudian, aroma lezat tercium dari dapur tempat Bibi Nella yang sedang menyiapkan sarapan pagi.
Dengan Mando dan Pingkan yang juga bergabung bersama mereka, mereka mendiskusikan rencana apa yang akan dilakukan untuk hari itu. Paman Miko mendengarkan dengan penuh perhatian,
"Hati-hati saja, sudah lama sejak terakhir kali aku mengunjungi gunung itu." Dia kemudian menoleh ke arah Mando, "Nak, sewaktu kalian berada di wilayah itu, harap waspada terhadap jerat. Kupikir aku melihat cahaya di atas sana beberapa hari yang lalu. Itu pasti pemburu liar."
Mando mengangguk. "Baiklah, Paman. Kami berencana untuk mengambil rute di sebelah dasar sungai yang kering dan kemudian masuk ke gunung di tebing burung maleo untuk sampai ke tempat yang kami pikir mungkin sebuah gua."
Paman Miko menyesap kopinya, "Aku mendengar cerita tentang gua itu dan pergi mencarinya tetapi tidak pernah menemukannya."
Dia meletakkan cangkirnya kembali di atas meja. "Hati-hati, dan ingatlah gunung-gunung penuh dengan ular saat ini."
Kata 'ular' membuat Pandu duduk tegak.
"Ular! Aku tidak suka ular!" katanya, wajahnya pucat pasi.
Mando menyeringai.
"Jangan khawatir, kawan. Aku sudah melihat banyak ular di sini, dan sejak aku lahir, tidak ada satu orang pun yang pernah digigit ular."
Pingkan setuju, "Jangan ganggu mereka, dan mereka akan menjauh darimu."
Pandu, yang masih pucat dan matanya terbelalak, menjawab, "Ya, tapi gunung-gunung itu seperti rumah mereka, dan ini..." ia menunjukkan tangannya ke ruang tamu, "lihat ini rumah kita. Mereka tidak datang ke sini, dan kita tidak boleh pergi ke sana!" simpulnya.
Gilang menepuk punggung Pandu.
"Jangan khawatir, kemungkinan besar kita tidak akan bertemu dengan ular. Dan kalau kita melihatnya, kita akan menjauh darinya!"
Faris yang kurang bijaksana berkata, "Jangan kekanak-kanakan, Pandu! Jadilah sepertiku. Aku tidak takut pada ular apa pun, bahkan yang besar sekalipun!"
Kesombongan Faris ditanggapi Mando dan Pingkan dengan saling berpandangan. Pingkan mengedipkan mata dan Mando mengangguk sambil menyeringai.
BERSAMBUNG
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI